Saturday, July 26, 2008

Tati Hartati: Jahitan Zig-Zag Jadi Ciri Khas

Ibu tiga anak berusia 38 tahun asal Cimahi, Jawa Barat ini tercatat sebagai pengusaha pakaian anak muslim sukses. Ia punya 500 agen yang tersebar di berbagai penjuru kota.

Anda terbilang pengusaha pakaian anak-anak muslim cukup ternama. Apakah ini menjadi cita-cita Anda sejak dulu?

Benar. Menjadi seorang pembuat pakaian memang sudah menjadi impian saya sejak kecil. Bahkan pekerjaan saya ini sudah saya rintis sejak kelas 4 SD di Cimahi, Bandung.

Oh ya, bagaimana ceritanya?

Saya lahir dari keluarga sederhana di Cimahi. Mungkin sudah bawaan lahir, jiwa seni itu kuat melekat pada diri saya. Terutama seni lukis, dekor, juga kerajinan jahit-menjahit pakaian sekaligus mendesain. Tapi, saya sama sekali tak bisa seni peran.

Apa saja yang Anda buat?

Misalnya saja tas ransel kain yang saya hias dengan bunga atau hiasan songket berbentuk singa sesuai dengan bintang saya. Tas itu juga saya sesuaikan dengan bando yang saya kenakan. Pokoknya keren sampai-sampai teman di sekolah begitu mengagumi karya saya.

Lalu?

Karena teman-teman ingin makai, akhirnya mereka memesan kepada saya. Saya membuat sesuai keinginan mereka. Saya mengerjakannya malam hari sepulang sekolah. Untungnya, kedua orang tua sangat demokratis dan mendukung apa saja yang saya kerjakan.

Bayangkan, saya yang masih kecil, sudah punya pekerjaan dan mendapat penghasilan. Uang yang saya peroleh lumayan dan bisa membantu kebutuhan sekolah. Hasil yang saya peroleh tentu saja berarti sekali mengingat kami keluarga besar yang hidup sederhana (Tati adalah anak ketiga dari enam bersaudara. Ayahnya adalah seorang pegawai negeri yang hidup sederhana)

Sekolah tak terbengkalai?

Enggak tuh. Bahkan sejak SD sampai SMA saya selalu ranking satu atau dua. Karena dukungan orang pula saya semakin giat mengembangkan bakat di bidang mode. Pokoknya tiada hari tanpa membuat gambar atau desain pakaian. Gambar model-model pakaian dari majalah bekas yang saya beli dari loak, tak pernah lepas dari tangan saya.
Ketika masuk SMP, kebiasaan itu semakin menjadi-jadi. Saya sudah membuat tas dan blazer segala. Begitu banyaknya pesanan, saya tak bisa lagi menjahit sendiri. Saya hanya membuat desain dan memotong. Untuk urusan menjahit, saya sudah punya tukang jahit sendiri. Ide-ide ini semakin menggila ketika duduk di bangku SMA. Sering saya bekerja sampai malam. Bahkan karena begadang terus sampai tengah malam, saya sempat masuk rumah sakit karena aca cairan di paru-paru.

Selepas SMA Anda melanjutkan ke mana?

Saya dihadapkan pada pilihan sulit. Sebenarnya saya ingin sekali masuk seni rupa ITB, tapi orang tua minta saya masuk analis. Saya bisa memahami keinginan mereka. Saat itu, peluang lulusan analis untuk mendapatkan pekerjaan lebih besar ketimbang jurusan seni rupa. Apalagi saya berkewajiban untuk membantu tiga adik saya karena kedua kakak saya sudah berkeluarga.

Keputusan masuk analis membuat semua guru saya tercengang. Mereka menduga saya masuk bidang seni seperti keahlian saya selama ini. Akhirnya, saya memang masuk analis ITB. Namun, kegemaran saya mendesain busana dan menerima jahitan tak pernah berhenti, bahkan semakin menumpuk.
Uang penghasilan sebagai pembuat baju selain saya gunakan untuk biaya kuliah, juga untuk membiayai ketiga adik saya. Setelah lulus kuliah, saya bekerja di sebuah perusahaan obat.

Apa tugas Anda?

Sesuai dengan bidang saya, saya berada di laboratorium melakukan penelitian di laboratorium. Tugas utama saya di laboratorium adalah mengembangbiakkan kuman. Jiwa saya berontak. Pekerjaan itu bukan dunia saya. Di kala sendiri di ruang laboratorium, saya berkhayal punya usaha garmen yang membuat baju anak-anak dan memiliki banyak tukang jahit, tukang potong, pemasaran dan macam-macam. Ya gimana, sih, namanya orang ngelantur. Bahkan, saat itu saya juga sudah punya calon nama untuk merek yaitu Dannis.

Nama itu Anda ambil dari mana?

Saya ambil dari nama tokoh serial drama yang ditayangkan di TVRI. Drama itu mengisahkan kehidupan sebuah keluarga Negro yang harmonis. Filmnya bagus banget. Menurut saya, nama Dannis kesannya keren. Selain cocok untuk cowok, juga bisa digunakan untuk cewek. Tapi, dalam perkembangan waktu, oleh seorang teman, nama Dannis diartikan dengan Dunia Akhirat Nanti Insya Allah Selamat. Menurut teman saya, nama jangan hanya sekadar sebuah sebutan, tapi harus mempunyai makna yang baik.

Setelah terjadi pergulatan batin di tempat kerja, apa yang Anda lakukan?

Secara kebetulan tahun 1994 saya menikah dengan Asep Kusnadi (44) yang berdinas di BPKP. Tak lama setelah menikah, suami pindah tugas ke Surabaya. Mau tak mau saya harus keluar dari tempat kerja karena mengikuti suami. Lalu, saya benar-benar konsentrasi sebagai ibu rumah tangga. Apalagi, saat itu saya sudah mulai hamil.

Kapan Anda mulai merintis usaha?
Tati dan tim kreatifnyaFoto: Gandhi


Tahun 1996. Saya sudah merasakan jenuh dengan rutinitas sehari-hari sebagai ibu rumah tangga. Tangan ini rasanya sudah gatal dan ingin kembali mendesain pakaian. Atas dorongan suami dan bermodalkan uang Rp 1 juta, saya membeli mesin jahit. Kemudian, saya membeli kain dan saya potong sesuai dengan ide-ide saya. Setelah pakaian muslim anak yang saya buat jadi, saya menawarkan ke pedagang pakaian di Pasar Turi dan Pasar Atom, Surabaya.

Mereka mau?

Rata-rata menolak. Saat itu belum ada pakaian muslim anak yang menggunakan warna jreng serta model yang "aneh-aneh" seperti desain saya. Menurut mereka, model saya belum umum di pasaran kelas menengah bawah. Kendati demikian, saya tak putus asa. Saya pun mencoba masuk ke butik-butik untuk membidik kalangan menengah ke atas. Rupanya mereka tertarik. Mereka menganggap kalau kreasi saya cocok untuk kalangan atas. Mereka mau menerima dengan syarat saya tak boleh menggunakan merek Dannis. Mereka menggunakan merek sesuai dengan nama butik mereka.

Anda mau?

Agar usaha jalan, sementara saya mau saja. Tak disangka pakaian buatan saya diminati. Saya mulai ambil penjahit sendiri dan tukang potong. Setelah usaha jalan, saya merasa tidak puas. Impian saya memberi merek Dannis pada karya saya tak kesampaian. Baju-baju itu, kan, karya saya tapi, kok, diberi merek orang lain. Saya merasa tidak lebih dari seorang tukang jahit belaka.

Sejak itu, saya putar haluan dengan meminta agar merek Dannis tetap saya gunakan. Tapi, butik-butik yang menjadi rekanan saya menolak. Akhirnya kami putus hubungan. Memang ada yang tetap mau menjalin kerja sama, tapi jumlahnya sangat sedikit. Masa-masa itu memang cukup menyulitkan saya. Tapi, risiko itu harus tetap saya ambil sebagai bagian idealisme saya sebagai seorang perancang. Bagi saya sebuah brand sangat berarti.

Di tengah kesulitan itu langkah apa yang Anda ambil?

Saya ikut semua jenis Multi Level Marketing (MLM) yang ada. Setiap ada acara tentang enterpreneur yang diadakan di MLM, selalu saya ikuti. Sebenarnya bukan saya mau ikut memasarkan produk MLM, tapi saya ingin mencontek teknik memasarkan produk mereka.

Selanjutnya, saya mengundang 25 orang yang selama ini rajin memasarkan produk saya. Mereka saya tawari untuk menjadi manager marketing. Fungsinya ya memasarkan produk-produk Dannis. Agar sama-sama enak, saya tunjukkan visi dan misi serta transprasi keuangan. Dengan demikian, diantara kami tak ada pikiran buruk atau ingin menang sendiri. Ternyata dari 25 orang tersebut hanya 20 orang yang bersedia. Dalam perjalanan waktu, menyusut menjadi 16 manager. Sampai sekarang, kami masih bekerja sama.

Usaha Anda lancar?

Ya. Bahkan berjalan begitu pesat. Saya bersama para manajer kerja maksimal untuk memasarkan produk Dannis. Lambat laun, produk-produk kami semakin dikenal masyarakat. Sampai saat ini, kami sudah memiliki 500 agen yang tersebar di seluruh Indonesia. Karena permintaan semakin menggila, saya mengontrak lahan yang lebih luas dan menambah mesin serta karyawan.

Berapa jumlah karyawan Anda sekarang?

Yang ada di Jalan Pakis, dekat rumah saya saja 250 orang. Jumlah itu masih ditambah karyawan yang bekerja di Gresik, Surabaya, Bandung, dan Jakarta. Total hampir 1.000 orang pekerja.

Omong-omong mengapa Anda memilih baju anak-anak, bukankah Anda juga menguasai baju dewasa?

Itu juga ada ceritanya. Ketika saya masih bekerja sebagai analis, sore hari sebelum melakukan pekerjaan menjahit, untuk mengisi waktu senggang saya juga mengajar mengaji anak-anak kampung. Saat itu saya melihat baju anak-anak didik saya standar sekali. Selain modelnya biasa, warnanya juga tidak ada yang bagus. Padahal, dunia anak, kan, dunia yang penuh ceria. Jadi, warna baju yang dikenakan harus mencerminkan dunia mereka.

Nah, mereka saya jadikan uji coba. Mereka saya buatkan seragam dengan warna dan bentuk yang modis. Baju koko tak sekadar baju biasa saja, tapi saya kombinasi dengan rompi. Pokoknya menarik deh. Anak-anak kelihatan keren abis. Saya semakin ingin punya usaha baju muslim anak. Apalagi saat itu busana muslim anak yang modis belum begitu banyak.

Untuk menciptakan model yang up to date, Anda berkreasi sendiri atau punya tim ahli?
Untuk sekarang, tak mungkin saya lakukan sendiri. Untuk urusan desain, saya dibantu tujuh anak buah yang masuk dalam tim kreatif. Di antara mereka ada yang dari seni rupa ITB.
Dengan suami dan anak-anak tercintaFoto: Gandhi

Bagaimana peran suami dalam menjalankan usaha ini?

Setelah usaha berjalan, suami yang bekerja sebagai PNS, beberapa tahun lalu lalu mengajukan pensiun dini dan total membantu saya. Dia menangani soal marketing, pembukuan dan persoalan perbankan yang kebetulan sesuai dengan bidangnya. Saya lebih konsentrasi ke produk.

Sebenarnya apa perbedaan produk Anda dengan produk serupa yang lain?

Ada satu yang khas dari produk saya yaitu setiap jahitan pasti menggunakan jahitan zig-zag atau three point. Karena kekhasan itulah, mesin jahit jenis three point itu lebih populer dengam sebutan mesin jahit Dannis.

Kalau boleh tahu, berapa omset Anda per bulan?

Secara keseluruhan 1 - 2 miliar per bulan. Menjelang Lebaran, omset bisa dua atau tiga kali lipat.

Sekarang Dannis juga memproduksi pakaian dewasa?

Benar. Sebab, setelah pakaian anak-anak sudah berjalan dengan baik, ada permintaan pakaian dewasa. Setelah kami terjuni, ternyata memang berjalan dengan baik. Itu terbukti makin besarnya permintaan.

Gandhi Wasono M.

1 comment:

Anonymous said...

Sebagai alumnus analis ITB, saya akan merasakan bingung yang sama dengan anda manakala harus memilih Seni Rupa ITB atau Analis ITB?....karena yang satu Perguruan Tinggi dan yang satu lagi SLTA!!!!
How come???