Thursday, July 31, 2008

Dulu ngangtau sekarang juragan konveksi

Semula Hutomo Agus Puntoro hanya jadi makelar bahan pakaian untuk pengusaha konveksi. Tapi melihat untungnya lebih lumayan, dia beralih menjadi pengusaha konveksi pakaian senam. Omsetnya bisa sampai Rp100 jutaan

Siang itu di sebuah garasi di bilangan Kemang, Jakarta. Suara mesin jahit dan mesin obras terdengar seperti bersahut-sahutan. Lima orang penjahit yang kesemuanya lelaki terlihat sibuk dengan pesanan pakaian senam yang harus segera selesai sebelum pertengahan September 2006. Maklumlah, di pertengahan September sudah masuk bulan puasa. Di bulan itulah, para penjahit ini harus istirahat di rumah karena perusahaan konveksi tempat mereka bekerja libur selama bulan puasa.

“Ya, setiap bulan puasa Ramadhan kami memang tutup karena pesanan untuk pakaian senam berkurang bahkan tidak ada. Kalau belum ada pesanan menjelang puasa, kami biasanya hanya stok bahan saja,” papar Hutomo Agus Puntoro, pemilik konveksi pakaian senam “Tom’s Center Line” kepada DUIT!


Buat pria yang biasa disapa Tomo ini, berbisnis konveksi pakaian senam memang bukan pekerjaan baru. Sudah tiga tahun dia menjalani bisnis itu bersama seorang teman kuliahnya dulu di Fakultas Ekonomi Universitas Nasional, Jakarta. Tapi lewat bisnis rumahan itulah, Tomo berhasil mengumpulkan pundi-pundi jutaan rupiah ke koceknya. Padahal dia mengaku bisnis yang dilakoninya kini awalnya lebih karena melihat peluang usahanya yang lumayan. Belakangan, pilihan itu tidak sia-sia karena kini dia bisa meraup omset setidaknya Rp100 jutaan per bulan.

Tomo bercerita, awalnya dia hanya menjadi makelar bahan spandex (yang biasa dipakai untuk pakaian senam) ke sejumlah konveksi pakaian. “Istilah pedagang di Tanah Abang, saya ini ngangtau alias makelar,” ucapnya sambil tertawa. Profesi itu dijalani selama 6 bulan.karena pemasoknya (perusahaan importir bahan pakaian dari Korea) tutup, Tomo pun sempat kehilangan rezeki. Lalu kenapa akhirnya dia memilih bisnis konveksi pekaian senam.

“Kebetulan kakak saya juga sudah menekuni bisnis konveksi pakaian senam. Saya juga lihat-lihat dan tanya-tanya ke pengusaha konveksi yang saya pasok bahannya. Kesimpulannya, bisnis pakaian jadi hasilnya lumayan, enak dan pasti. Dari situlah saya mulai melangkahkan kaki menekuni bisnis itu,” jawab bapak satu anak yang membuka bisnis konveksinya mulai Juni 2003 dengan modal sendiri hasil tabungannya semasa ngangtau bahan pakaian dulu

Tomo memulai bisnisnya di rumahnya, di komplek perumahan di kawasan Ciputat, Tangerang. Dengan modal awal sekitar Rp45 juta, yang sebagian besar dia belikan mesin jahit satu set, mulailah Tomo mencari tukang jahit. Awalnya dia cukup memakai dua orang karyawan. Order pertama datang dari seorang temannya sesama penggemar kegiatan otomotif yang kebetulan membuka toko pakaian di pusat grosir pakaian Tanah Abang.

“Awalnya sih ada aja yang salah-salah sedikit. Ada yang jahitnya kurang rapi, ada juga yang katanya nggak enak kerasa di badan. Tapi justru dari kesalahan itu saya dan karyawan belajar banyak soal membuat pakaian senam ini,” tutur berusia 33 tahun ini.

Beruntung sang teman tadi tetap mempercayainya untuk memasok pakaian senam ke tokonya itu. Dari hanya pesanan setengah sampai 1 lusin, perlahan sudah mencapai angka 10 lusin/minggu. Bahkan belakangan, Tomo juga menemukan satu lagi pemesan yang membuka tokonya di ITC Mangga Dua, Jakarta. Maka jadilah kedua pemasan tadi partner bisnisnya yang setia sampai sekarang. Dalam sebulan, setidaknya 200 lusin pakaian senam dipasok Tomo ke kedua pemesan tadi. Soal merek, kedua pemesan tadilah yang menentukan. “Saya benar-benar tidak terima pesanan di luar pemesan tadi, karena dari keduanya saja sudah lumayan,” papar pengusaha yang mengaku tidak mau meminjam kredit dari perbankan ini.

Karena mulai banyak pesanan, selain sudah menamh karyawannya menjadi lima orang, Tomo juga sudah memindahkan “pabriknya” yang semula di rumahnya d Ciputat ke garasi milik partner bisnisnya di selatan Jakarta.

Meski pesanan cukup lumayan, toh dalam berbisnis Tomo tetap mengaku terkendala soal perputaran dana. “Pembayaran pesanan tadi kan memakai giro, kadang-kadang tiga bulan baru cair. Kadang pas waktu dicairkan dananya nggak ada, giro ditolak. Kalau sudah begitu toko biasanya ganti dengan cash. Tapi repotnya kalau puasa, karena libur sebulan, giro bisa hangus. Makanya untuk mengatasi saya terkadang tukar giro tadi ke teman atau saudara potong lima persen supaya dapat cash,” aku pengusaha yang ingin membuka bengkel otomotif ini.

Saat ini pasokan bahan Tomo sebagian besar diambil dari pabrik kain di Bandung. Dia bisa berbelanja dua minggu sekali dengan nilai belanja sekitar Rp26 juta-Rp30 juta. “Pakaian yang sudah jadi, saya jual sekitar harga Rp60.00 per stel,” kata Tomo yang menggaji anak buahnya Rp6000/pieces.

Dengan omzet sekitar Rp100 jutaan per bulan, Tomo yang berangan-angan punya showroom sendiri ini bisa menikmati hasil jerih payahnya itu Dua buah mobil dan sebuah rumah di kawasan Serpong, Tangerang diakunya sebagai bukti keberhasilan berbisnis ini. $ AGUSTAMAN

No comments: