Thursday, January 24, 2008

Spesialis Busana Kerja Wanita

Spesialis Busana Kerja Wanita
Kamis, 02 November 2006
Oleh : Farida Nawang Nurini

Larangan bekerja dari suami dan orang tua justru memacunya menggali bakat terpendamnya. Kini ia menjelma menjadi desainer sekaligus pengusaha yang sukses membidik segmen busana kerja wanita.

Suzanna Wanasuka mulai merintis bisnis busana kerja wanita sejak 1992. Dia pun mengusung namanya sendiri -- Suzanna Wanasuka -- sebagai merek produknya. Sebelumnya, lulusan Jurusan Akuntansi STIE Bandung ini pernah menjajal bekerja sebagai internal auditor di sebuah perusahaan kimia. Sejak menikah dan kemudian memiliki anak, ia dilarang suami dan orang tuanya bekerja. Tidak betah berdiam diri, iseng-iseng ia les menjahit pada Susan Budiharjo. Setelah menyelesaikan les, ibu dua putri ini mulai mendapatkan pesanan menjahit baju pesta dari teman-temannya. “Kok ternyata repot, karena saya harus banyak janji untuk mengukur dan lain-lain. Wah, jadi beban juga,” katanya.

Terpikirlah untuk berbisnis dengan memasukkan hasil rancangannya ke department store, agar ia bisa membagi waktu untuk keluarga. Tekadnya berbisnis sudah bulat karena ia melihat peluang yang belum dilirik orang lain. Saat itu, perancang busana bagi eksekutif wanita sangat jarang. “Kalaupun ada, modelnya basic banget. Jadi, saya nggak suka. Saya kan pernah kerja, jadi kayaknya bosan juga kalau pakai baju dengan model yang basic,” ujarnya. Terinspirasi gaya Channel yang banyak bermain dengan kombinasi, ia mulai mencoba masuk di bisnis ini.

Meski tidak diizinkan suami yang memiliki bisnis kontraktor dan orang tuanya, ia mulai menjalankan bisnis ini diam-diam. Tanpa diantar sopir, ia menjelajah pasar Tanah Abang untuk mencari bahan kain. Dengan modal Rp 500 ribu, ia juga mempekerjakan dua penjahit.

Pasaraya menjadi tujuan pertama untuk memasarkan produknya. Sepuluh contoh produk yang dibawanya disambut Pasaraya. Namun, untuk bisa masuk ke Pasaraya, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi. Antara lain, ia harus mempersiapkan 100 potong baju untuk mengisi konter dalam waktu sebulan dan penjualan barang harus bagus dalam waktu tiga bulan. Untuk memenuhi syarat ini, ia harus bekerja keras dengan dua penjahitnya. Bahkan, semalaman ia harus melubangi kancing karena ia tidak mempekerjakan tukang kancing. “Paginya, baru saya pasangi barcode, kemudian dengan mobil sendiri saya kirim sendiri,” katanya mengenang. Lolos syarat pertama, tidak juga membuatnya tenang. Selang waktu dua bulan, barangnya tidak laku. Meski akhirnya memberitahu suami tentang bisnisnya, ia tidak menceritakan kesulitan ini.

Dewi Fortuna ternyata masih berpihak padanya. “Kebetulan Pasaraya mengadakan peragaan busana Wajah Mode. Rancangan saya dimuat surat kabar harian nasional satu halaman penuh,” katanya. Momentum inilah yang menjadi titik balik dalam pengembangan bisnisnya. Penjualannya meningkat cepat dan izinnya pun diperpanjang lagi. Barang yang tidak laku diobralnya dengan harga Rp 25 ribuan. Padahal, saat itu harga blazer sekitar Rp 130 ribu dan harga blus Rp 60 ribu. Dengan cara ini, modalnya bisa kembali. Modal ini digunakan untuk membeli bahan kembali.

Tidak puas hanya di Pasaraya, ia mulai merambah Matahari Dept. Store tahun 1995. Penjualannya cukup menyenangkan. Sampai-sampai, ia terpilih sebagai 10 desainer terlaris – di antara yang 9 lainnya, ada Biyan dan Ghea Sukasah. Pemilihan ini dilakukan Majalah Tiara. Metro Dept. Store menjadi tujuan selanjutnya, walaupun awalnya ditolak. “Mungkin, saya harus punya nama dulu,” katanya. Begitu konternya semakin banyak, tidak lama kemudian ia dipanggil pihak Metro untuk mengikuti percobaan, dan penjualannya ternyata bagus. Sekarang, produknya bisa dijumpai di jaringan Metro di Mal Pondok Indah, Mal Taman Anggrek, Plaza Senayan (Jakarta) dan Bandung. Menurutnya, permintaan pun terus masuk seperti dari Mal Diamond, Mal Arta Gading, serta beberapa mal di Fatmawati dan Depok. Total, sekarang produknya dipajang di 13 konter, termasuk di Bogor.

Mereknya juga mulai menembus pasar Singapura. Peluang ini didapatkannya ketika mengikuti Bali Fashion Week. Melalui ajang ini, ia mendapat penawaran dari pembeli yang memiliki butik di Singapura. “Yang penting, brand saya sudah ada di sana dulu,” tuturnya. Meski tidak terlalu banyak, ia serius mengembangkan pasar di Singapura, terutama untuk menyasar segmen yang lebih tinggi.

Sementara ini, merek Suzanna Wanasuka menyasar segmen kelas menengah-atas. Harga sepasang baju dipatok sekitar Rp 800 ribu. Adapun untuk three pieces di atas Rp 1 juta. Sejak awal, ia memang fokus menggarap segmen ini. Karakter segmen ini biasanya sadar mode, tidak mempertimbangkan faktor harga tapi sangat peduli terhadap kualitas dan gengsi. Ia tidak membidik kalangan high end karena kelas ini didominasi merek luar.

Agaknya segmen pasar yang dipilih Suzanna memang tepat. Menurut Liza Felicia Wulandari, konsultan pemasaran, secara umum pelaku industri garmen menyasar segmen menengah-bawah. “Mereka yang bermain di segmen ini agak sensitif. Begitu industrinya berubah, pemainnya juga berubah. Pemainnya berganti-ganti. Bahkan, sulit menemukan pelaku yang sama di segmen ini untuk lima tahun mendatang,” katanya. Ditambah lagi, persaingan di segmen menengah ke bawah juga lebih ketat karena selain factory outlet kian marak, kios-kios di pinggir jalan pun mulai banyak menawarkan produk yang hampir sama.

Tajamnya pemilihan segmen yang dituju ternyata menguntungkan Suzanna. Ini bisa dilihat ketika terjadi krisis ekonomi di Indonesia. Saat itu bisnisnya malah berkembang karena mendapat limpahan. Banyak segmen atas yang akhirnya melirik merek lokal seperti mereknya. “Saya sadar bahwa saya akan mendapat limpahan tersebut, untuk itu saya harus menaikkan kualitas, agar mereka tidak segan-segan memilih merek saya,” ujarnya. Dulu, ia memang menggunakan bahan dari lokal. Namun, setelah 3-4 tahun bisnisnya berjalan, ia mulai memesan bahan dari luar negeri melalui pemasok. Alasannya, bukan karena ia anti-barang-lokal, tapi serat bahan dari luar negeri lebih bagus untuk blazer.

Selain itu, ia lebih berani memilih warna dan memberikan kombinasi. Modelnya pun makin variatif. Ia paham, segmen pasar yang dibidiknya tahu benar tentang mode. Yang lebih penting, mereka lebih berani mencoba. “Untuk itu, saya harus mengikuti dan belajar terus tentang tren, sampai ke tren bahan segala,” katanya. Dengan begitu, ia bisa memprediksi tren, rancangan dan strategi tahun depan. Jadi, untuk tahun 2007, ia telah memiliki rancangan yang bakal diluncurkannya. Strategi untuk mencapai target kenaikan omset 20%-30% tahun depan pun sudah bisa dirancangnya.

Suzanna mengeluarkan dua tren setiap tahun. Setiap bulan, ia bisa mengeluarkan 6-8 model blus dan 8-10 model blazer. Ini dilakukan untuk menyiasati penjiplakan ide. “Desain saya ditiru sudah biasa. Setiap mengeluarkan blazer model baru, langsung cepat ada di Mangga Dua. Sampai saya pernah samperin tokonya dan saya bilang ini model saya dan sudah dipatenkan. Kalau berani lagi, pengacara saya akan datang,” ujarnya. Meski tahu kalau model baju tidak bisa dipatenkan, ia tetap saja melontarkan ancaman tersebut, karena kesal. “Makanya, saya harus terus mengeluarkan banyak model baru dan membuat yang agak rumit sehingga orang tidak gampang meniru.”

Kekuatan dalam hal tren, desain, pemilihan warna dan kombinasi inilah yang agaknya menarik perhatian konsumen. Salah satunya, Dewi Kania, karyawan Bank Buana yang gemar berburu busana. Dewi mengaku sebelumnya tidak tahu merek Suzanna Wanasuka. Saat belanja di Pasaraya, ia tertarik membeli blazer merek tersebut seharga sekitar Rp 500 ribu. “Blazer yang aku beli modelnya bagus, sederhana tapi sangat manis karena diberi kombinasi,” kata lajang yang suka mempertimbangkan memilih baju bukan karena merek, melainkan karena modelnya ini.

Menurut salah seorang sales promotion girls (SPG) Suzanna Wanasuka, penjualan produk ini di Pasaraya lumayan bagus. “Setiap hari pasti ada saja pembeli. Minimal 1-2 orang,” katanya. Menurutnya, biasanya pembeli blazer di Pasaraya adalah langganan. Berbeda dari blus, orang tertarik membeli karena melihat modelnya dulu. Pembelinya juga bermacam-macam: eksekutif muda, ibu rumah tangga hingga eksekutif berjilbab. “Model blazernya kan panjang-panjang, sehingga ibu-ibu berjilbab menyukainya.”

Menyangkut desain, semua masih di tangan Suzanna. Meski demikian, ia memiliki tim khusus desain. Setelah menggambar desain, ia mendiskusikannya dengan tim ini. Setelah disetujui, baru diproses sampai tahap penjahitan. Proses produksi bisa dilakukan dalam dua cara: menjahit sendiri atau dialihdayayang. Untuk item yang agak nyeleneh dan perlu menggunakan sentuhan seni, biasanya dikerjakan sendiri oleh penjahitnya. Di luar itu, seperti untuk blus, ia melibatkan perusahaan lain yang biasa melakukan ekspor sebagai tempat alih daya. Cara ini memang memudahkannya. Misalnya, jika satu model ternyata laku, ia bisa menambah produksi dengan mudah. “Saya tinggal telepon untuk menambah produksi,” katanya. Setiap bulan, jumlah order yang dipesan minimal 1.000 potong. Pengontrolan kualitas selalu dilakukan dengan mengambil dan mengecek beberapa sampel produk.

Ia juga tidak terjun langsung dalam pengontrolan produk, karena sudah memiliki karyawan yang mengurus dari kontrol kulaitas, distribusi, keuangan sampai kekaryawanan. Ia memiliki 70 karyawan: 26 penjahit, 30 SPG dan 14 pegawai kantor. Jadi, saat ini ia hanya memikirkan masalah desain dan strategi bisnis ke depan, termasuk memperkuat merek.

Selama ini untuk memperkuat merek, Suzanna lebih banyak bekerja sama dengan beberapa stasiun televisi swasta, seperti Metro TV, TV7 dan Trans TV. Dulu, sebelum namanya dikenal, promosi dilakukan dengan mensponsori peluncuran produk dan mengikuti kegiatan fashion show. “Promosi masih perlu. Malah justru anggarannya harus diperbesar. Apalagi, tahun ini.”

Rencananya, tahun ini ia mulai fokus pada busana pesta cocktail untuk segmen kelas lebih atas (tapi bukan high end), yakni segmen yang mampu membelanjakan Rp 1,5-7 juta untuk sepasang baju. “Sekarang, saya memang akan mengembangkan produk yang lebih high lagi,” katanya. Rencana ini telah dicobanya dan dipasarkan di butik Suzanna Wanasuka Mal Kelapa Gading. Merek yang digunakan tetap sama. Yang membedakan adalah warna label dan logonya.

Sejalan dengan pertumbuhan penjualan yang menurutnya sekitar 30% per tahun, Suzanna pun berencana fokus untuk menambah butik. Ia berharap, keuntungan yang didapat dari butik bisa lebih besar. “Kalau outlet, potongan dari keuntungan besar. Sebulan, saya harus bayar ratusan juta untuk department store.

Menurut Liza, belajar dari keberhasilan merek besar asal luar negeri seperti Armani dan Versace, keberadaan butik menjadi penting bagi merek tersebut. Pasalnya, merek yang khusus melayani segmen tertentu ini sudah memiliki pelanggan sendiri. “Jadi, merek ini tidak mencari pelanggan secara umum. Mereka bisa bertahan karena bisa mempertahankan konsumen mereka,” katanya. Untuk mempertahankannya, mereka memiliki program membership card. Dengan cara ini, sebuah merek bisa menghubungi pelanggannya secara berulang untuk memberikan berbagai informasi. Yang tak kalah penting, strategi branding yang didasarkan pada keunikan produk. “Karena merek Suzanna Wanasuka menonjolkan siapa desainernya, jalan yang harus ditempuh adalah sering melakukan fashion show,” demikian saran Liza.

No comments: