Wednesday, January 16, 2008

Komoditas yang Salah Urus

Kedelai
Komoditas yang Salah Urus

Masyarakat tak mampu berduka. Harga tempe dan tahu meroket. Padahal, makanan berbahan baku kedelai itu sumber utama protein nabati yang harganya relatif terjangkau oleh sebagian besar warga Indonesia. Ironisnya, dalam jangka pendek pemerintah tidak bisa berbuat apa-apa menghadapi kenyataan itu.

Kebijakan penurunan bea masuk dari 10 persen menjadi nol persen tidak akan banyak berarti. Karena penurunan subsidi yang hanya 10 persen tidak sebanding dengan peningkatan harga kedelai, yang dalam setahun ini mencapai 100 persen.

Taruhlah harga kedelai impor saat ini Rp 7.000 per kilogram. Dengan penurunan bea masuk, harga kedelai akan berkurang Rp 700 per kg. Perajin tempe dan tahu tetap akan kesulitan berproduksi dengan harga kedelai Rp 6.300 per kg, serta harga jual tempe pun relatif akan tetap tinggi.

Memang banyak sumber protein lain seperti telur, daging, dan susu. Namun, hanya sebagian kecil dari lapisan warga yang mampu mengonsumsi bahan makanan itu karena harganya relatif mahal. Tempe dan tahulah yang selama ini menjadi sumber protein paling murah.

Berdasarkan hasil penghitungan Forum Masyarakat Perunggasan Indonesia (FMPI), harga per gram protein bersumber tempe dengan kandungan 15 persen hanya Rp 50.

Sementara telur dengan kandungan protein per gram 12, 15 persen harganya Rp 75. Itu pun dengan catatan harga telur Rp 9.000 per kg. Sumber protein dari daging sapi lebih mahal lagi. Dengan kandungan protein 20 persen harganya Rp 250.

Melihat disparitas harga makanan yang menjadi sumber protein yang cukup tinggi itu, tidak aneh kalau sebagian besar masyarakat, terutama yang kemampuan ekonominya relatif lemah, memilih tempe atau tahu. Sebab, selain bergizi juga murah.

Namun, itu dulu. Kini harga tempe dan tahu tidak lagi murah. Harga tahu per biji telah naik dari Rp 200 menjadi Rp 300. Begitu juga tempe, dari Rp 2.500 per batang menjadi Rp 3.000. Harga itu masih akan terus meroket.

Kenaikan harga tempe dan tahu itu makin menyesakkan dada karena sebelumnya rakyat harus memikul beban kenaikan harga beras, minyak tanah, sayuran, jagung, singkong, ubi jalar, dan tepung terigu. Sementara pendapatan relatif tetap.

Kenaikan harga kedelai dunia sebenarnya tidak terlalu merisaukan masyarakat Indonesia seandainya pemerintah tanggap dan mengantisipasi dampak kenaikan itu sejak jauh-jauh hari.

Kebijakan pascareformasi

Produksi kedelai dalam negeri dari tahun ke tahun terus merosot. Tahun 2007, misalnya, produksi kedelai lebih rendah 18,6 persen dibanding tahun 2006 yang mencapai 747.611 ton.

Petani cenderung enggan menanam kedelai. Bila ditelusuri, hal itu terkait dengan kebijakan pemerintah pascareformasi dan kebijakan AS sebagai produsen utama kedelai dunia.

Tahun 2000, produksi kedelai AS melimpah sehingga sulit untuk menampung panen kedelai petaninya. Untuk menjaga insentif harga bagi petaninya, Pemerintah AS melalui USDA (United State Department of Agriculture) meluncurkan kredit ekspor, GSM 102.

Tahun 2000 kredit ekspor yang diberikan 12 juta dollar AS dan tahun 2001 sebesar 750 juta dollar AS. Fasilitas kredit ini diberikan khusus kepada importir kedelai Indonesia.

Dengan fasilitas kredit itu, importir Indonesia banyak yang mendatangkan kedelai dari AS. Apalagi harganya lebih murah Rp 550 per kilogram dibanding harga kedelai lokal. Harga kedelai lokal Rp 2.500 per kg, sedangkan kedelai impor Rp 1.950.

Kebijakan AS itu diterima begitu saja oleh Pemerintah Indonesia tanpa mengkaji risiko yang lebih panjang. Akibatnya, kedelai lokal kalah bersaing. Petani lambat laun tak lagi bersemangat menanam kedelai.

Akibatnya, produksi kedelai nasional terus menurun. Tahun 1992 luas panen kedelai lokal 1.665.706 hektar, dan sembilan tahun kemudian, tahun 2001, turun menjadi 723.029 hektar.

Pada tahun 2005, atau empat tahun kemudian, luas panen turun lagi menjadi 621.541 hektar. Tahun 2006 menjadi 580.534 hektar dan tahun 2007 menjadi 456.824 hektar, atau tinggal 27,4 persen dari luas panen 1992.

Di tengah kelesuan petani lokal menanam kedelai, petani kedelai AS justru mendapat semangat baru. Jaminan harga yang diberikan Pemerintah AS dengan memberikan "subsidi ekspor" melalui fasilitas kredit ekspor, menjamin hasil panen petani selalu diserap pasar dengan harga yang layak.

Sementara petani kedelai Indonesia dibiarkan bertarung sendiri di "medan perang" globalisasi. Muncul UU No 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman. UU itu membebaskan petani untuk mengembangkan komoditas yang mereka sukai.

Petani pun menjauhi kedelai dan beralih menanam jagung, ubi jalar, kacang tanah, dan tanaman palawija lain yang lebih menguntungkan.

Seiring perjalanan waktu, pertumbuhan ekonomi China dan India mengalami lompatan. Industri tumbuh subur dan konsumsi meningkat. Transportasi berkembang sehingga kebutuhan bahan bakar pun meningkat.

Sementara produksi bahan bakar minyak (BBM) berbahan baku fosil menipis. Ditambah lagi ketegangan politik di Timur Tengah, sebagai pemasok terbesar minyak mentah dunia, memicu lonjakan harga.

Karena itu, sejumlah negara maju, termasuk AS, mulai mengembangkan energi alternatif, yaitu bahan bakar nabati (BBN). AS mengembangkan etanol yang berbasis jagung, Brasil mengembangkan etanol berbasis tebu, dan negara-negara di Eropa mengembangkan biodiesel.

Kebijakan energi alternatif AS yang berbasis jagung itu mau tak mau mendongkrak harga jagung dunia. Petani jagung di AS pun bergairah karena pemerintahnya memberikan subsidi kepada mereka. Tak heran bila kemudian banyak petani kedelai AS yang beralih ke jagung. Suplai kedelai dunia pun berkurang karena separuh dari kedelai dunia diproduksi oleh AS.

Persoalan tak cuma itu. Lonjakan harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) juga mendorong tingginya harga minyak goreng dunia sehingga sebagian produksi kedelai dialokasikan untuk bahan baku minyak goreng.

Indonesia sebagai negara pengimpor kedelai pun merasakan dampaknya. Tiap tahun Indonesia rata-rata mengimpor 1,3 juta ton atau 60 persen dari kebutuhan kedelai nasional.

Perlu terobosan

Kini, pemerintah tidak bisa lagi tinggal diam. Keresahan akibat kenaikan harga kedelai telah merebak. Sebab, harga tempe, tahu, tauco, kecap, susu kedelai, dan berbagai produk makanan berbahan baku kedelai lainnya juga ikut melonjak.

Belajar dari masa lalu, selayaknya tak lagi membiarkan petani bertarung sendirian menghadapi pasar global. Jangan biarkan petani "babak belur" menghadapi "pertarungan" itu. Memberikan jaminan harga bagi petani itu sudah cukup untuk mengembalikan gairahnya menanam kedelai.

Jaminan harga inilah yang selama ini sulit diberikan pemerintah. Berbagai macam alasan dilontarkan untuk menjadi pembenarnya. Padahal, dengan jaminan harga yang baik di tingkat petani, gairah menanam kedelai akan kembali bergelora.

Menggairahkan petani tidak hanya memantapkan ketahanan pangan negeri ini, tetapi juga akan membuat bangsa ini tidak "didikte" oleh negara lain.

Meningkatkan produksi kedelai sampai tahap swasembada bukan hal yang mustahil. Berikan jaminan harga yang layak, petani akan tertarik menanam kedelai. Jangan menunggu petani patah semangat lagi.

Pemerintah tak perlu ragu "melindungi" petani karena negara lain tidak hanya "melindungi" petaninya, tetapi juga produk pertaniannya dengan berbagai cara. (HERMAS E PRABOWO)

No comments: