Sunday, January 13, 2008

Saat Sakit, Resep Soekarno Disimpan di Laci

Saat Sakit, Resep Soekarno Disimpan di Laci

Catatan:
Asvi Warman Adam

Tanggal 12 Januari 2008 pukul 09.44 di Cendana, Ismail Saleh membagikan fotokopi tulisannya yang dimuat pada harian Pelita berjudul Marilah Kita Bangsa Indonesia Wujudkan Petuah: Mikul Dhuwur Mendhem Jero. Di dalam artikel yang ditulis mantan Jaksa Agung era Orde Baru itu dikatakan bahwa Soeharto mengagungkan nama Soekarno dan mengubur dalam-dalam kesalahan Bung Karno.

Betulkah Soeharto melaksanakan prinsip menghormati orang yang lebih tua itu dalam kasus upaya pengadilan terhadap mantan Presiden Soekarno dan lebih-lebih dalam perawatan sang proklamator? Presiden Soekarno tidak dibawa ke pengadilan dengan alasan yang sangat strategis. Kalau dia disidangkan, tentu akan timbul protes dari para pendukung Bung Karno yang masih banyak. Di samping itu, pengadilan bisa membebaskannya karena tidak cukup bukti dia terlibat dalam upaya kudeta yang janggal itu.

Sementara itu, perawatan yang diberikan kepada Presiden Soekarno betul-betul tidak manusiawi. Bagai bumi dengan langit bila dibandingkan dengan perawatan sempurna yang diterima orang kuat Orde Baru itu. Selama 10 kali mengalami masalah kesehatan sejak berhenti jadi presiden pada 1998, Soeharto betul-betul memperoleh perhatian medis yang luar biasa.

Jenderal besar Soeharto dirawat di Rumah Sakit Pusat Pertamina pada ruang 536 yang seakan-akan sudah menjadi ruang khusus perawatan presiden. Bukan hanya dokter kepresidenan, tetapi juga dokter ahli lain dikerahkan sehingga sampai berjumlah puluhan orang. Maka, berdatanganlah para selebriti pemerintahan, dari mantan pejabat era Orde Baru sampai kepada presiden dan wakilnya. Awal Januari 2008 ketika Soeharto kembali masuk rumah sakit, dia memperoleh perhatian yang luar biasa dari kru televisi yang berbondong-bondong menunggu pengumuman hasil kesehatan setiap hari dan malam.

Berita medis itu berfluktuasi, kesehatan Soeharto menurun, membaik, membaik dari pagi tadi tetapi masih kritis, gawat tetapi masih bisa diatasi, tergantung dari alat-alat bantu. Bahkan, Menteri Kesehatan yang entah terselip lidah mengatakan bahwa Soeharto mengalami kehidupan semu karena fungsi-fungsi organ tubuhnya saat ini digantikan oleh mesin.

Perawatan Bung Karno

Soekarno pernah mengalami gangguan ginjal dan pernah dirawat di Wina pada 1961 dan 1964. Prof Dr K. Fellinger menyarankan agar ginjal kiri tersebut diangkat saja. Bung Karno menjawab, "Nanti saja, ik moet mijn taak afronde (Saya harus menyelesaikan tugas saja). Tugas yang belum selesai itu adalah mengembalikan Irian Barat ke pangkuan RI. Pada masa selanjutnya, pengobatan dengan ramuan tradisional Tiongkok/akupunktur diberikan dokter dari RRT.

Pada 4 Agustus 1965 terjadi suatu peristiwa yang ikut memicu pecahnya Gerakan 30 September, yaitu sakitnya Bung Karno. Beredar rumor bahwa Soekarno pingsan dan mengalami koma. Sebetulnya yang terjadi, Bung Karno mengalami TIA (transient ischaemic attack), yaitu stroke ringan akibat penyempitan sesaat (spasme) pada pembuluh darah otak. Bukan stroke karena perdarahan atau adanya bekuan darah dalam pembuluh darah otak. Dokter meminta Soekarno berbaring di kamar. Para dokter menyarankan agar dia tidak usah berpidato pada 17 Agustus 1965 karena kondisi kesehatannya belum pulih. Seandainya dia berpidato, jangan lebih dari satu jam. Ternyata Presiden Soekarno berpidato lebih dari satu jam dan untungnya tidak terjadi apa-apa.

Awal 1969, Soekarno pindah dalam status bisa dikatakan "tahanan rumah" ke Wisma Yaso di Jalan Gatot Subroto (sekarang Museum Satria Mandala). Sementara itu, presiden RI pertama itu terus diperiksa oleh Kopkamtib. Setelah sakit Soekarno makin parah, barulah Soeharto memerintahkan menghentikan interogasi.

Soekarno mendapat perawatan reguler seperti di rumah sakit biasa, dalam arti diukur suhu badan dan tekanan darah beberapa kali dalam sehari serta jumlah air kencing selama 24 jam. Pernah ada pemeriksaan rontgen. Tidak diberikan diet khusus seperti yang dilakukan terhadap pasien gangguan ginjal. Ketika kondisi Bung Karno kritis, Prof Mahar Mardjono sempat menceritakan kepada Dr Kartono Mohammad bahwa obat yang diresepkannya disimpan saja di laci oleh "dokter yang berpangkat tinggi".

Hanya Diberi Vitamin

Menurut catatan perawat di Wisma Yaso, obat yang diberikan kepada Soekarno adalah vitamin B 12, vitamin B kompleks, Duvadilan, dan Royal Jelly (yang sebenarnya madu). Duvadilan adalah obat untuk mengurangi penyempitan pembuluh darah periferi. Kalau sakit kepala diberi novalgin, sekali-sekali kalau sulit tidur, Soekarno diberi tablet valium.

Ketika tekanan darahnya relatif tinggi, 170/100, tidak diberikan obat untuk menurunkannya. Juga tidak tercatat obat untuk melancarkan kencing ketika terjadi pembengkakan. Bung Karno telah ditelantarkan.

Pada 22 Mei 2006 bersama dr Kartono Mohammad, saya berkunjung ke rumah Rachmawati Soekarnoputri di Jalan Jatipadang, Jakarta Selatan. Rachmawati bercerita tentang dr Suroyo adalah seorang dokter dari dinas kesehatan Angkatan Darat berpangkat kapten (kemudian mayor) yang ditempatkan di Istana menjelang 1965.

Menurut Rachmawati, dr Suroyo inilah yang biasanya merawat hewan-hewan yang ada di Istana Merdeka. Yang aneh pula, urine Soekarno diperiksa pada laboratorim Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Entah tidak ada laboratorium yang lain waktu itu di Jakarta. Kami sempat melihat surat dari Pangdam Siliwangi Mayjen HR. Dharsono yang melarang seluruh warga Jawa Barat mengunjungi atau dikunjungi Soekarno. Selain itu, ada surat dari Pangdam Jaya Amir Machmud yang menetapkan bahwa seluruh dokter yang akan mengunjungi Bung Karno harus sepengetahuan dan didampingi dr Kapten Suroyo.

Ketika kesehatan Soekarno semakin kritis, pipinya terlihat bengkak, gejala pasien gagal ginjal. Guruh dan Rachmawati sempat memotret ayahnya. Foto itu sempat beredar pada pers asing. Guruh dan Rachmawati kontan diinterogasi di markas CPM Guntur, Jakarta.

Kenyataan yang tidak banyak diketahui masyarakat tentang kondisi kesehatan dan perawatan Bung Karno sengaja dikemukakan di sini, sungguhpun teramat pahit, bukanlah untuk memelihara dendam. Ini demi menuruti pandangan beliau agar kita "Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah". Bangsa ini perlu belajar dan memetik hikmah dari sejarah masa lampau agar lebih arif dan proporsional dalam menyikapi persoalan hari ini.


(Dr Asvi Warman Adam, ahli peneliti utama LIPI)

No comments: