Sunday, November 11, 2007

Keamanan DuniaKampanye Multikutub

Minggu, 11 November 2007
Keamanan DuniaKampanye Multikutub
Pieter P Gero
Parlemen Rusia atau Duma, Rabu (7/11), menyetujui dengan suara bulat, 418 lawan 0, membatalkan keikutsertaan Rusia dalam Pakta Kekuatan Konvensional di Eropa atau CFE. Rusia pun akan kembali menggelar pasukan di wilayahnya yang berbatasan dengan Eropa.
Apa yang dilakukan Duma (Majelis Rendah) sebenarnya langkah paling akhir dari Rusia yang ingin kembali berperan dalam kancah keamanan dunia. Semua ini bukan semata karena tampilnya Presiden Vladimir Putin di Kremlin dan keuntungan besar dari pendapatan minyak bumi yang membuat Rusia kuat lagi secara keuangan. Namun, hal itu sangat berkaitan erat dengan sikap arogan dari Amerika Serikat (AS) dan sekutunya dalam NATO.
Invasi atas Irak dan Afganistan yang dilakukan pasukan Sekutu pimpinan AS dengan dalih mengejar teroris jelas sebuah perbuatan tak ubahnya polisi yang mengejar penjahat tanpa melihat batas dan kedaulatan sebuah negara merdeka. Rusia menolak aksi tersebut.
Belakangan Moskwa sudah tak sabar ketika Washington ternyata melakukan hal itu di negara-negara bekas sekutu Rusia di Pakta Warsawa. Memasang sistem pertahanan tameng rudal bernilai multimiliar dollar AS di Republik Ceko dan Polandia jelas sebuah pelecehan atas citra dan wibawa Rusia. AS bahkan juga berupaya memerdekakan Kosovo dari Serbia dan selanjutnya menjadi bagian dari sistem pertahanan ini.
Sekalipun proyek ini baru akan siap tahun 2012, Rusia melihat AS dan sekutunya kian menjadi-jadi. AS juga tidak paham dengan sejumlah manuver yang dilakukan Rusia yang intinya ingin meredam sikap AS yang sudah melampaui batas.
Presiden Putin sejak Juli 2007 sudah melepaskan ancaman akan membatalkan CFE apabila AS terus dengan sistem pertahanan tameng rudalnya. Sebelumnya, Rusia juga secara bertahap mulai memasok sejumlah peralatan perang ke negara-negara yang tak bisa mendapat senjata dari AS, termasuk Indonesia. Padahal, peralatan ini perlu dalam menjaga keutuhan negara dari aksi separatis.
Bulan Agustus, Putin secara resmi menghidupkan patroli jarak jauh pesawat pengebom strategis. Patroli ini sudah berhenti sejak 15 tahun lalu. Selain memberi alasan bahwa kekuatan itu selama ini lebih banyak di darat, Putin juga mengatakan bahwa selama ini ada pihak lain yang terus melakukan patroli.
Per 17 Agustus lalu, pengebom strategis jenis Tu (Tupolev)-95 yang dikenal dengan "bear" beraksi lagi. Sekitar 14 pesawat pengebom Tu-95 dilengkapi rudal, pesawat pendukung termasuk tanker, memulai tugas patroli dari tujuh pangkalan AU Rusia. Patroli ini akan melibatkan 20 pesawat dengan operasi yang bersifat reguler.
Rusia juga terus melakukan uji coba bom nonnuklir dengan kekuatan tak ubahnya bom nuklir. Bulan September lalu, Rusia mengklaim memiliki bom nuklir yang dijuluki "ayah semua bom" dengan kekuatan ledak setara 44 ton TNT. Lebih hebat dari bom serupa milik AS yang dikenal dengan "ibu semua bom" yang punya daya ledak setara 11 ton TNT. Rusia sukses melakukan uji coba bom nonnuklir ini.
Manuver akhir Rusia lainnya adalah kunjungan Putin ke Teheran, Iran, bulan lalu, menghadiri pertemuan puncak negara-negara Laut Kaspia. Muncul pernyataan bahwa negara-negara Laut Kaspia ini akan saling membantu jika ada dari mereka yang diserang pihak lain.
Tersirat dari kesepakatan ini adalah ancaman terhadap AS dan sekutunya (Israel) yang berniat menyerang pusat nuklir Iran. Iran memiliki pusat nuklir yang bisa menghasilkan hulu ledak nuklir. Iran sejauh ini sudah memiliki rudal Shahab-3 yang bisa dikembangkan untuk menjangkau Eropa.
Sebelumnya, Kremlin juga mengeluarkan pernyataan bahwa Rusia siap untuk segera menghasilkan misil jarak pendek dan menengah. "Kami memiliki segala sesuatu yang dibutuhkan untuk memproduksi rudal-rudal tadi. Jika ada keputusan politik, jelas Rusia akan melakukannya segera mungkin," ujar Jenderal Nikolai Solovtsov, Kepala Kekuatan Misil Strategis Rusia.
Kembalinya Perang Dingin?
Sejumlah manuver Rusia ini mengundang spekulasi bakal kembalinya suasana Perang Dingin di mana perlombaan senjata, termasuk senjata nuklir, akan kembali lagi. Namun, boleh jadi, apa yang dilakukan Moskwa ini bagian dari menjaga keseimbangan dalam menjaga keamanan dunia. Sebuah kampanye multikutub yang belakangan ini didengungkan Putin.
Dengan kehadiran kekuatan multikutub, maka tindakan AS yang arogan tidak bisa terjadi begitu saja. Jika Washington terus memaksakan kehendaknya, maka tak terhindarkan terjadi konflik yang bisa menjerumuskan dunia ke perang baru.
Dengan Rusia kini mengerahkan pasukannya ke wilayahnya yang berdekatan dengan Eropa, jelas sebuah tekanan lainnya bagi anggota NATO di Eropa untuk menekan AS agar tak berbuat seenaknya. "Aliansi jelas khawatir dengan pengerahan pasukan ke wilayah Rusia barat," ujar James Appathurai, juru bicara NATO, seusai keputusan Duma membatalkan Pakta CFE.
Pakta CFE yang ditandatangani tahun 1990 dan kemudian diperbarui tahun 1999 intinya membatasi berbagai pergerakan dan aktivitas militer konvensional di Eropa. Tadinya pakta ini ditandatangani antara Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dan Pakta Warsawa. Namun, seiring bubarnya Uni Soviet dan Pakta Warsawa, CFE diperbarui lagi tahun 1999.
Tetapi yang terjadi, CFE yang diperbarui ini tidak pernah disetujui NATO. Parlemen Rusia sudah menyetujuinya tahun 2004. Kehadiran sistem pertahanan tameng rudal di Republik Ceko dan Polandia jelas sebuah pelanggaran dalam CFE yang menekankan tidak ada peningkatan atau penggelaran militer di Eropa, termasuk di bekas sekutu Uni Soviet (Rusia).
Kepala Staf Angkatan Bersenjata Rusia Jenderal Yury Baluyevsky juga mengatakan bahwa NATO telah melanggar batasan yang diatur CFE dengan melampaui batasan hampir 6.000 tank, 10.822 kendaraan tempur, 5.000 unit artileri, hampir 1.500 pesawat tempur, dan lebih dari 500 helikopter serang.
"Pembatalan CFE jelas sebuah kerugian besar yang menyakitkan bagi negara-negara Eropa," ujar Baluyevsky. NATO menilai langkah Rusia membatalkan CFE jelas sebuah keputusan yang sangat disesalkan.
Menahan diri
Rusia dengan berbagai manuver unjuk kekuatan militernya ini bertujuan untuk mengajak pihak lain, terutama AS dan NATO, untuk lebih menahan diri. AS dan NATO tak bisa begitu saja bertindak seperti penentu dari masa depan dunia dengan bertindak melampaui wilayah dan kedaulatan pihak lain.
Kampanye multikutub yang didengungkan Rusia pantas mendapat perhatian dan dukungan semua, terutama negara-negara yang selama ini oleh AS dan sekutunya dicap sebagai "negara setan", penebar teror. Dan, hanya AS dan sekutunya yang bisa memiliki senjata nuklir, yang bisa menentukan nasib sebuah pemerintahan di sebuah negara hanya karena pemimpinnya tak suka dengan kebijakan AS.
Mencegah nuansa Perang Dingin yang mulai terasa dengan kehadiran kekuatan militer Rusia rasanya perlu kehadiran seorang pemimpin di Gedung Putih yang lebih senang perdamaian. Pemimpin yang lebih mengutamakan dialog dibandingkan mengerahkan pasukan. Sebuah awal dari perang panjang tanpa akhir yang kini terlihat di Irak.

No comments: