Tuesday, November 06, 2007

"Kaisar Bugil"

"Kaisar Bugil"

Tengah malam tinggal setengah jam lagi, tetapi di sekitar Mal Pondok Indah macet total Jumat (2/11) itu. Oh, hampir pecah bentrok aparat melawan warga yang menolak bus transjakarta.

Mereka mempertahankan setiap jengkal tanah seperti milik pribadi persis Nurdin Halid dan sekutu-sekutu dekatnya memperlakukan PSSI.

Di lain pihak Pemerintah Provinsi DKI tidak menjalankan taktik "pisau Swiss Army" yang berprinsip "menggunakan cara berbeda untuk mencapai tujuan yang berbeda pula".

Mereka mesti bersikap asertif untuk menghadapi sebagian ulah warga Pondok Indah.

Bus transjakarta (quality bus) bermaksud mengangkut penumpang sampai ke tujuan sesuai dengan jadwal yang sudah ditetapkan. Telah setengah abad bus di Ibu Kota tak pernah tepat waktu.

Quality bus melayani rute menengah atau jauh, misalnya, mengangkut mereka yang tinggal di pinggir Jabodetabek ke perkantoran di Jakarta Pusat. Jumlah halte persinggahannya pun sedikit saja.

Syarat lain bus transjakarta butuh jalur khusus yang dibangun untuk itu, termasuk model monorel. Kalau bus transjakarta dioperasikan di-mixed traffic yang sudah macet, sama aja boong.

Pemprov DKI salah, tetapi tak pantas mengajukan mereka ke pengadilan menuntut bus transjakarta dibatalkan.

Tak ada pilihan lain bagi Pemprov DKI kecuali bersikap tegas. Mulailah dengan pembongkaran portal dan polisi tidur di Pondok Indah agar semua jalur alternatif dapat dimanfaatkan.

Aparat dan pos keamanan bertebaran, portal tak dibutuhkan. Polisi tidur yang menghambat kecepatan toh bisa digantikan marka-marka jalan.

Jalan di Pondok Indah macet karena mobil-mobil parkir seenaknya di tepi jalan menghadiri kenduri di rumah ketua umum sebuah parpol. Saya selalu membatin, ih, belum jadi presiden aja udah kayak gini.

TTI (Texas Transportation Institute) di Texas A&M University di Amerika Serikat (AS) menyimpulkan Jakarta kota termacet di dunia bersama Bangkok (Thailand), Cairo (Mesir), Chennai (India), Sao Paulo (Brasil), serta Beijing dan Shanghai (China).

Kenapa? Menurut TTI alasannya sederhana: di tujuh kota itu jumlah sepeda dan sepeda motor sudah berlebihan. Mereka memperlambat laju karena suka meliuk kayak atlet ski air slalom. Kalau mobil terdepan kaget dan ngerem, mereka yang di belakang mengikutinya.

Tak ada lagi "jarak aman" di wilayah sekitar kendaraan yang tak boleh disusupi kendaraan lain. Jarak aman yang terjaga menjamin alur agar lancar karena sopir tak gonta-ganti injak rem dan gas dengan cepat.

Kalau jarak aman tak terjaga, terjadi efek domino yang mengakibatkan traffic delay. Akhirnya terjadi saling serobot dan road rage yang membuat pengendara Jakarta cepat naik darah.

Sederhana, kan? Namun, kelakuan pengendara motor di Jakarta sudah lama jadi bahan gunjingan.

Diatur wajib menghidupkan lampu besar ternyata cuma kuat satu-dua hari. Diminta tetap di lajur kiri, malah "menari-nari".

Saya heran, jika tabrakan, mereka saling memaafkan? Namun, kalau berurusan dengan mobil, urusan kecelakaan jadi isu kesenjangan sosial.

Banyak pengendara mobil yang setali tiga uang. Saya telah lama menyimpulkan kita tak bisa hidup dalam kondisi lalu lintas yang teratur.

Kita tiap hari curang, tetapi gemar meneriakkan demokrasi daripada mempraktikkannya. Andai dilakukan "pemutihan" SIM oleh tenaga dari luar negeri untuk mengawasi ujian lisan dan praktik SIM, lebih dari 90 persen tak akan lulus.

Pengendara Jakarta belum paham bahwa menyopir pekerjaan penuh tanggung jawab. Orang asing di sini kenal pemeo "every second is a miracle".

Memilih rute saja butuh persiapan kayak mau perang. Nyawa tak ada harganya karena jalan di Jakarta lebih berbahaya dibandingkan dengan di Baghdad sana.

Tiap sopir di AS menghabiskan 14 hari di tengah kemacetan dan negara rugi 78 miliar dollar AS per tahun. Tahun 2000 polusi membunuh lebih dari 40.000 orang di Austria, Perancis, dan Swiss.

TTI menyarankan kota macet memberlakukan "non-peak rush-hour times" bagi yang memiliki jadwal kerja fleksibel. Tak sedikit perusahaan asing di Jakarta menerapkan aturan masuk pukul 07.00 dan pulang pukul 16.00.

Bisa saja jadwal belajar siswa SD sampai universitas dimundurkan ke pukul 09.00. Angkutan bisnis, seperti layanan antar barang, berlaku petang sampai malam hari. Truk dan sejenisnya boleh masuk Jakarta tengah malam sampai subuh. Carpooling telah jadi alternatif untuk mengurangi kemacetan di banyak negara.

Saya khawatir kesumpekan Jakarta, yang sebentar lagi bertambah karena ancaman banjir, meledak jadi pembangkangan massal. Sayang sikap pemimpin "jauh panggang dari api".

Saya berkhayal negeri yang sedang krisis ini masih dipimpin Angkatan 1945 yang merebut kemerdekaan. Pertama-tama mereka pasti bertanya, "Bagaimana rakyat di luaran?"

Mereka segera menyepi, merenung, dan berupaya mencari solusi.

Apalagi bicara tentang perlunya rumah mereka segera direnovasi. Atau mengemis dana Rp 49 triliun untuk Pemilu 2009 yang memilih "lu lagi lu lagi".

Saya ingat cerita Kaisar Bugil. Ia yakin dirinya hebat walau pandir, kostumnya mewah meski tanpa sehelai benang pun, dan dicintai rakyat.

Padahal rakyat menertawakannya. Ha-ha-ha....

No comments: