Friday, November 09, 2007

Apa yang Kau Cari, PSSI?

Apa yang Kau Cari, PSSI?

Judul tulisan ini terinspirasi film karya seniman kenamaan Asrul Sani, "Apa yang Kau Cari, Palupi?", film terbaik Festival Film Asia 1970. Judul film itu relevan untuk mengetuk hati para pengambil keputusan di PSSI, organisasi sepak bola kita, yang kini diperingatkan Badan Sepak Bola Dunia (FIFA), tetapi anehnya justru melawan. Apa daya, PSSI kini di tepi jurang kehancuran yang digali pengurusnya sendiri. Andai pendiri PSSI Soeratin Sosrosoegondo masih hidup, dia pasti menitikkan air mata.

"Amunisi" pertama adalah surat dari FIFA kepada PSSI pada Juni 2007, hanya kurang dari dua bulan setelah Nurdin terpilih di Munas. Isi surat itu: permintaan pemilihan ulang ketua umum PSSI. FIFA beralasan, PSSI melanggar Pedoman Dasar (PD)-nya sendiri, khususnya Pasal 16 Ayat (1), yang berbunyi: "Keputusan yang diambil Munas diberlakukan kepada anggota, 30 hari setelah Munas berakhir." Faktanya, PD ini langsung berlaku sehari setelah disahkan, dengan digelarnya pemilihan ketua umum yang memilih Nurdin secara aklamasi.

Logika FIFA sangat rasional. Seharusnya, setelah PD disahkan Munas, bergulir dulu sosialisasi PD PSSI ke berbagai penjuru Tanah Air. Termasuk sosialisasi tentang agenda pemilihan ketua umum, yang memungkinkan para kandidat ketua umum bersiap diri.

Surat itu dikirim ketika Indonesia tengah bersiap menjadi tuan rumah Piala Asia 2007, Juli lalu. Sehingga, publik pencinta bola pun sedang berada dalam eforia Piala Asia. Dan PSSI sendiri, celakanya, tak pernah jujur kepada anggotanya bahwa mereka diminta menggelar pemilihan ulang. Informasi ini pun lenyap ditelan angin.

"Gemerlap" Piala Asia berlalu. FIFA yang suratnya tidak mendapat respons signifikan dari PSSI lalu merilis berita pengiriman surat itu di situs FIFA, akhir Oktober lalu. Gonjang-ganjing terjadi karena PSSI secara terbuka menolak keras pemilihan ulang ketua umum. "Amunisi" terakhir atau bisa disebut pamungkas adalah pernyataan Presiden FIFA Sepp Blatter, yang dikutip kantor berita AFP, Selasa (6/11).

Tanpa basa-basi

Tanpa basa-basi, Blatter menegaskan bahwa PSSI harus segera mengganti Nurdin Halid. Nurdin, seperti kalimat di berita AFP, punya reputasi memalukan karena terlibat kasus pidana korupsi. Dan pribadi yang punya catatan kriminal, tak bisa menduduki kursi pengurus asosiasi sepak bola, apalagi tampil sebagai ketua umum. Ini bunyi artikel ketujuh Kode Etik FIFA, yang sedikitpun tak termaktub di Pedoman Dasar PSSI. Aturan serupa juga tercantum dalam Pasal 32 Standar Statuta FIFA.

Bagaimana, PSSI? Ah, mereka menganggap semua ini bagai angin lalu. Bahkan, saat Komite Olahraga Nasional (KON) mempertanyakan hal ini langsung kepada FIFA, dan mendapat jawaban senada dengan surat FIFA, PSSI tetap abai. Sekretaris Jenderal PSSI Nugraha Besoes, Ketua Komite Media Mafirion, dan Ketua Komite Tetap Legal PSSI Syarif Bastaman berkilah bahwa sampai sekarang mereka tak menerima sepucuk pun surat dari FIFA. Bahkan, Nurdin, yang kini sedang dibui, punya akses menjelaskan masalah ini kepada Ketua KON Rita Subowo dan beberapa kali diwawancarai jurnalis.

Jika ini terjadi ketika prestasi sepak bola Indonesia "bersinar" di kancah internasional, mungkin publik masih bisa toleran. Tetapi, di tengah paceklik prestasi, kompetisi yang tercoreng oleh tawuran antarsuporter dan skandal pengaturan skor, plus karut-marut keorganisasian yang demikian akut, siapa lagi yang bisa memaafkan?

Apa yang kau cari, PSSI? Ketika surat FIFA sudah dikirimkan dan Presiden FIFA Sepp Blatter melontarkan penegasan, aspek legal apa lagi yang masih diperlukan? Jangan-jangan PSSI kini justru sedang menunggu surat pembekuan keanggotaan. Dan itu berarti, tiada lagi tim dengan logo Burung Garuda di kancah internasional.

PSSI kita ternyata hidup sendirian, menganut kebenaran ala mereka sendiri, jauh dari prinsip kebenaran masyarakat kebanyakan. Tak beda jauh dengan katak di bawah tempurung, PSSI hidup logika yang terpisah dari komunitas di luar tempurung. Ia terasing. Sunyi! (ADI PRINANTYO)

No comments: