Sunday, November 26, 2006

Tak Harus Menjadi Perancang Ternama

Tak Harus Menjadi Perancang Ternama


Semua orang ingin jadi perancang ternama karena bisa terkenal dan menggelar peragaan busana sendiri," kata Ferdi Hendarman, Head Designer PT Bina Busana Internusa, Kawasan Industri Pulo Gadung, Jakarta Timur.

Hal senada diungkapkan Chrisye (40), lulusan sekolah mode Susan Budiardjo (1995), yang kini bekerja di perusahaan garmen PT Bina Busana Internusa. Sedikit sekali lulusan sekolah mode yang bercita-cita masuk ke industri garmen. "Padahal, sekolah lebih mengarahkan kami membuka bisnis jahit di rumah untuk membuka lapangan kerja," kata Chrisye yang pernah bekerja di sebuah perusahaan garmen di Bali.

Dunia mode tidak sebatas peragaan busana yang gemerlap dan eksklusif. Juga bukan terletak pada busana yang tampak mewah yang dipertontonkan peragawati di atas catwalk. Industri garmen mulai dari proses merancang pola, memotong, menjahit hingga penjualan. Proses panjang ini juga harus dipahami setiap pelaku industri mode.

"Saya resminya perancang mode, tetapi pekerjaannya enggak cuma menggambar. Enggak sesempit itu. Saya mengurus sampai pemasaran," kata Ferdi, lulusan sekolah mode Esmod Jakarta (1997) dan Teknik Industri ITB (1987).

Dari sisi ketenaran, kata Ferdi, perancang mode yang memiliki label sendiri jelas lebih unggul, tetapi pasarnya terbatas di kalangan tertentu saja karena harga busananya yang relatif mahal. "Kalau semua mau jadi perancang mode begitu siapa yang akan membuat baju yang dijual di Matahari. Industri garmen itu bisnis besar. Saya dulu pernah dibilang perancang mode garmen itu tidak bergengsi. Biar saja," lanjut Ferdi yang juga membuka butik di Bandung.

Bekerja sebagai perancang dituntut memiliki disiplin tinggi. "Mereka harus membuat desain mode untuk satu musim. Kalau begitu-begitu saja modelnya, pasti ditinggal konsumen. Harus cepat juga kerjanya. Kalau tidak pasti ditinggal pembeli," kata Netti, lulusan Susan Budiardjo (1994), yang kini lebih memilih membuka butik sendiri karena tidak kuat bekerja di industri garmen.

Selain di industri garmen, banyak lulusan sekolah mode yang memilih membuka butik. Seperti Tini dan Maryati. Sejak selesai pendidikan dasar menjahit di Bunka School, Tini langsung membuka butik dengan menyewa paviliun di belakang Plaza Gadjah Mada.

Sejak awal, Tini tidak ingin bekerja di bawah seorang perancang mode. Kini perempuan asal Solo itu tinggal membuat desain saja karena sudah mempekerjakan satu orang pembuat pola, lima penjahit, dan tiga pemasang manik dan payet.

"Bekerja pada perancang, kami yang kerja dia yang dapat nama. Saya pernah satu tahun kerja ikut orang untuk dapat pengalaman cara menjalankan bisnis," kata Tini yang kerap membuat gaun malam dan gaun pengantin itu.

Sementara Maryati datang jauh-jauh dari Jambi untuk mengambil kursus dasar dan desain di Bunka School selama dua tahun. Kini dia membuat baju-baju kasual untuk dijual di ITC Mangga Dua, Jakarta Barat. "Untung saya sekolah. Kalau tidak kan saya tidak tahu cara buat baju dan menjual baju," ujarnya.

Pada dasarnya sekolah-sekolah mode tidak mengarahkan lulusannya harus menjadi desainer atau memiliki label sendiri, meskipun ini adalah tujuan utama kebanyakan siswa yang memilih bersekolah mode. Padahal, masih banyak bagian lain yang juga berperan penting dalam industri mode.

Seperti Miranda Waliry yang menjadi Branch Manager Stuart Weitzman dan Rococo. "Desainer dan industri fashion harus ada juga yang mengelola," kata Miranda yang lulusan LaSalle mengenai jurusan fashion business yang dimasukinya.

Selama bersekolah para murid di La Salle dari berbagai jurusan selalu dilibatkan bersama-sama mengurus pergelaran busana. Bagian desain grafis membuat buku acara, dan berbagai publikasi. Bagian fashion business seperti dirinya terlibat dalam perencanaan keuangan, mencari model, hingga mencari aksesori.

"Semua itu jadi bekal saat bekerja. Dunia fashion (seperti butik) selalu punya produk baru yang perlu dipromosikan lewat acara seperti show. Saya jadi sudah terbiasa, termasuk untuk urusan negosiasi," kata Miranda. (LUK/EDN/LKS)

No comments: