Sunday, November 26, 2006

Dari Selebriti sampai Presiden

PROFIL MINGGU INI
Dari Selebriti sampai Presiden

Aan Ibrahim ( Desainer )

Aan Ibrahim termasuk satu di antara 60 desainer yang akan tampil pada Fashion Tendance 2006 di Jakarta, 13--14 Desember mendatang. Para perancang ini tergabung Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia (APPMI).

SEBAGAI perancang, Aan dikenal sangat konsisten memasukkan motif-motif etnik Lampung seperti tapis, sulaman usus, batik sembagi, dan maduaro. Motif-motif yang menonjolkan seni karya adiluhung peninggalan nenek moyang Lampung ini memiliki kekuatan sendiri dalam guratan rancangannya. Sehingga desainer ini mampu menyejajarkan diri dengan perancang kondang seperti Ramli, Prajudi atau Adji Notonegoro.

Karyanya tidak hanya dipakai selebriti top seperti Maudy Koesnaedy, Iis Dahlia, Ike Nurjanah, dan sederet selebriti lain. Rancangan lelaki kelahiran Pagardewa ini juga pernah melekat di tubuh mantan Presiden Megawati Soekarnoputri, Guruh Soekarnoputra dan istrinya, Guseynova Sabina Padmavati. Siti Hardiyanti Rukmana atau akrab disapa Mbak Tutut, putri tertua mantan Presiden Soeharto, juga pernah mengenakan busana rancangan Aan. Pejabat tinggi di Lampung juga begitu, termasuk istri-istri menteri.

"Saya puas jika klien puas dengan rancangan saya. Apalagi kalau hasilnya pas buat mereka," kata Aan memaknai kebahagiaan sebagai seorang desainer.

Bagimana Aan merintis jejaknya di dunia mode? Apa saja yang dilakukan untuk tetap eksis sebagai desainer selama 16 tahun ini?

Berikut petikan wawancara Aan Ibrahim dengan wartawan Lampung Post Yunita Savitri®MDUL¯ di butiknya di Jalan Perintis Kemerdekaan No. 5, Bandar Lampung, Selasa (29-11).

Bagaimana awal Anda terjun ke bidang fashion ini?

Ya, terjun bebaslah. (Aan tertawa). Secara profesional, saya mulai terjun ke bidang ini sekitar 1989. Sebelumnya, saya sempat jadi PNS di RSUAM. Saya jadi perawat di bagian VIP di sana.

Apa alasan Anda beralih profesi?

Mungkin karena kebetulan atau bagaimana. Tetapi, setelah saya pikir-pikir, memang saya punya bakat, kali ya...sehingga akhirnya saya beralih menekuni bidang fashion. Selain itu, saya ingin bebas saja berekspresi. Jadi desainer itu tidak perlu terikat tatanan-tatanan seperti PNS yang taat dengan satu aturan. Gak boleh ini, gak boleh itu. Kalau begitu, kreativitas kita jadi pampet. Jadi desainer itu kan lebih bebas.

Kenapa Anda terlambat menyadari, Anda memiliki talenta besar di bidang ini?

Sejak kecil memang saya belum tahu mau jadi apa. Sebab itu, saya memilih masuk akademi perawat. Tetapi, setelah menjalani profesi itu, saya jadi berpikir kembali untung ruginya. Kayaknya, kalau saya menjalani profesi sesuai dengan bakat yang saya miliki itu lebih menguntungkan. Sebab itu, akhirnya saya memutuskan berhenti sebagai PNS dan mulai membuka usaha menjahit, baru setelah stabil, saya membuka butik.

Dari mana Anda belajar soal fashion?

Saya autodidak. Sebelum menjadi profesional pada 1989, saya sudah mengenal mode lewat mengikuti beberepa fashion show. Sejak 70-an saya memang sudah berkecimpung di dunia mode. Waktu itu saya jadi model sebagai kerja sambilan. Kebetulan memang saya hobi sama hal-hal yang berbau seni.

Kapan pertama kali Anda menjadi model?

Pertama kali jadi model itu tahun 1979. Awalnya jadi model juga gak sengaja. Waktu saya potong rambut di sebuah salon di Jalan Pangkal Pinang, pemilik salon, saya ingat namanya Ibu Masni bilang kalo tampang saya lumayan buat jadi model. Lalu dari ngobrol-ngobrol itu, saya ditawari ikut fashion show dalam rangka tahun baru di Hotel Marcopolo. Saya ingat waktu itu saya latihan hampir sebulan penuh.

Walaupun sedikit malu-malu tampil di depan orang banyak. Saat itu rasa luar biasa sekali bisa show. Waktu itu, jadi model kan sudah elite banget. Setelah itu, tawaran jadi model terus mengalir. Bukan hanya di Lampung, tapi saya juga sering ikut fashion show Batik Danar Hadi dan Batik Tris di di luar kota, seperti Palembang. Selain jadi model, saya juga sering diberi tanggung jawab untuk mengadakan acara-acara kecantikan. Nah, lewat itu saya bisa berkenalan dengan istri-istri pejabat yang belakangan jadi pangsa pasar saya.

Selain memang berkecimpung di dunia mode, dari mana lagi Anda mempelajari mode?

Saya baru mempelajari mode secara formal setelah saya membuka butik. Itu sekitar 1996. Waktu itu saya ikut sekolah mode Esmode di Jakarta. Hanya setengah tahun. Tetapi, sebelum terjun di bidang mode, saya sudah memiliki pengalaman di bidang ini. Tahun 1982--1984, saya membuka usaha jahitan.

Alhamdulillah, walaupun masih kecil-kecilan banyak juga teman-teman seprofesi yang minta dibuatkan baju. Saya juga sering diminta mendesain baju ibu-ibu pejabat.

Sebagai seorang desainer, bagaimana Anda merintis usaha ini?

Ya, gimana ya. Tetapi, waktu saya memulai itu pasarnya sudah ada. Tetapi, sebagai desainer baru, saya harus memiliki ciri khas. Waktu itu saya punya ide mengangkat tapis sebagai ciri khas saya. Saya juga melihat peluang, kebudayaan Lampung belum digarap desainer-desainer Indonesia, kayak Iwan Tirta yang mengolah batik dan Ramli yang mengolah bordir sampai ke mancanegara. Kalau saya lihat di Lampung ada satu keunikan, yaitu tapis yang tidak ada duanya di provinsi lain. Ya, kemudian saya mulailah dari tapis.

Kapan Anda mulai go national?

Tahun 1989 saya langsung show di Jakarta dan dapat tanggapan bagus. Dari situ, saya mulai belajar profesional. Terus terang, dari sisi persiapan waktu itu, saya belum punya konsep. Bajunya juga kayak supermarket. Pokoknya ada ini, ada ini. Yang penting baju itu ada tapis-tapisnya. Jadi istilah desainer itu supermarket. Tetapi gak nyangka, setelah show itu banyak yang cari Aan. Yang mana...yang mana Aan.

Besoknya, dari Sarinah Thamrin meminta saya menghadap. Lalu saya datangi. Saya bawa konsep baju saya, lalu mereka pesan 300 potong. Saya gak mikir uangnya ada apa enggak waktu itu, yang penting saya iya saja.

Bagaimana Anda mempersiapkan pesanan besar itu?

Saya minta waktu tiga bulan. Begitu tiga bulan, baju 300 potong itu yang terjadi apa? Ternyata quality control-nya ada lima pintu. Pertama pemeriksaan kancing. Kedua pemeriksaan jahitan sampai yang terakhir gosokan. Kalau mengilat out. Nah, dari 300 potong itu yang diterimea cuma 40 biji. (Aan tertawa). Kita gak tahu sih ada seperti itu. Yang penting waktu itu bisa membuat baju. Lalu untuk memenuhi sisanya saya minta waktu lagi tiga bulan. Saya buat yang baru, sementara yang tidak lolos quality control itu saya jual di sini. Orang-orang yang beli di sini mana mungkin mau seteliti itu.

Setelah itu, apa lagi yang Anda lakukan untuk tetap eksis sebagai desainer?

Saya banyak ikut work shop dan konsultasi dengan yang senior. Setelah itu, rutin saya menggelar fashion show dan saya langsung ikut asosiasi perancang mode. Waktu itu, kan saya gak ngerti fittings model, standar model gak ngerti. Jadi perlu banyak pengalaman.

Selain menggali ilmu secara autodidak, Anda juga banyak berkonsultasi dengan desainer senior. Siapa saja?

Saya ngefans-nya sama Ramli. Saya banyak berkunjung kepada dia. Rata-rata desainer memang terbuka sih. Ramli dan Poppy Darsono yang mengemangati saya. Mereka bilang, "Pokoknya An, begitu orang lihat tekstil Lampung, pokoknya identitas elo. Gua gak mau tahu."

Selain Ramli dan Poppy, siapa lagi yang berperan membuat Anda sukses seperti sekarang?

Anak-anak dan rekan-rekan saya. Dengan menjadi anak yang baik dan nggak neko-neko sebenarnya mereka sudah men-support saya. Artinya mereka nggak ribet, nggak menghabiskan uang saya ke narkoba. Dengan begitu, saya tidak stres dan pikiran saya tidak hanaya terfokus pada mereka.

Setelah tapis, Anda mencoba mengangkat sulam usus, bagaimana proses kreativitas Anda menemukan ide itu?

Nah, waktu saya berubah konsep dari tapis, ke sulam usus tahun 1996, Poppy langsung ngamuk. Kata Poppy, "Kamu ini gimana sih, tapis kan mulai dikenal orang. Kok malah beralih konsep."

Poppy dan Ramli memang ingin tapis dikenal luas dan merajalela seperti Iwan Tirta mengangkat batik. Tetapi, saya terkendala pasar yang waktu memang sudah turun. Dan orang modern nggak mau yang namanya benang emas. Tapis juga nggak bisa disulam di atas tekstil yang lembut. Meskipun saya jelaskan, Poppy dan Ramli tetap tidak setuju. Dan itu berlangsung dua tahun. Tetapi, saya tetap ngotot aja. Baru pada tahun keempat mereka mulai menerima.

Kesulitan yang sebagai desainer?

Saya terkendala dengan SDM-nya. Di Lampung sulit sekali mencari asisten yang benar-benar bisa membantu. Lain dengan desainer di Jakarta. Mereka tinggal duduk di kursi bagus, lalu pagi-pagi asistennya sudah memberikan beberapa rancangan dan dia tinggal periksa saja. Kalo di sini, saya buat desain, saya bikin pola, saya juga terima tamu.

Atau memang Anda yang tidak percaya dengan hasil kerja orang lain?

Tidak lah. Badan saya sebenarnya sudah capek dan ini yang membuat saya stres. SDM di sini berbeda lo dengan di Jakarta. Di sana, asisten desainer itu pulang kerja pukul 12 malam. Memang mereka harus gila kerja. Beda dengan disini. Pukul 17 sudah pulang kayak PNS.

Selain sulam usus, apalagi yang Anda ingin kembangkan?

Ada. Namanya sulaman tembung manok yang dalam bahasa Indonesia artinya pantat ayam. Saya sudah populerkan setahun lewat. Aku ketemu sulaman khas Lampung ini di Menggala juga. Waktu pas Lebaran ke rumah familiku, aku lihat kok ada sulaman seperti ini. Lalu mereka jelaskan bahwa itu sulaman tembung manok. Nah, sulaman ini kita padukan dengan sulam usus sebagai bagian ornamennya. Di sebagian kalangan seperti ibu pejabat, sulaman ini sudah mulai dikenal. Memang baru sedikit yang kenal karena dari sisi harga memang lebih mahal dari sulaman usus karena pengerjaan lebih rumit. Di Jakarta harganya bisa mencapai Rp9 juta. Pengerjaannya juga lama bisa sampai dua bulan.

Pada 13--14 Desember mendatang, Anda akan menggelar show tahunan bersama 60 desainer Indonesia lain di Jakarta. Apa persiapan Anda?

Rencananya ada 12 baju yang bakal diperagakan di sana. Semuanya konsep gaun malam yang elegan. Ada yang 3 pieces, 2 pieces, dan dress®MDBU¯. Semuanya sulam usus. Kini baru selesai 30 persen. Ya habis gimana, konsep yang saya mau berubah-ubah terus. Ada ide bagus lagi ganti. Jadi biasanya mendekati hari H baru kelop.

Selain kerja keras, tentu Anda punya kiat untuk bisa sesukses sekarang. Boleh tahu apa saja kiatnya?

Jika ingin maju, kita harus memiliki manajemen yang gaul. Itu yang saya terapkan. Sejak muda, saya sudah membuka diri dengan siapa saja. Saya juga banyak bergaul dengan kalangan atas, seperti anak-anak pejabat. Mungkin cara berpikir saya beda dengan orang-orang dari kampung saya dulu yang cuma mikirin gimana ngakalin duit orang tuanya buat pacaran. Saya gak mau seperti itu.

Merasa orang dari desa, saya ingin banyak tahu, seperti apa mereka yang lebih mampu dari saya, bagaimana mereka bergaul, bagaimana mereka menata hidupnya. Untuk bisa tahu mereka, gampang saja. Saya kan perawat di ruang paviliun RSUAM yang pasiennya orang-orang kaya. Jadi saya dekati mereka saja dan saya servis habis. Tetapi, tujuan saya pure waktu itu ingin bergaul. Nah, lewat mereka saya banyak menimba ilmu. n M-1

No comments: