Saturday, June 09, 2007

Sekolah Rumah ?

Sekolah Rumah?

Daoed Joesoef

Belakangan ini kian marak pelaksanaan sekolah rumah (homeschooling), yaitu rumah dijadikan tempat pembelajaran anak. Anak-anak itu didampingi dan dibantu orangtua sendiri atau dibantu menguasai pengetahuan/keterampilan tertentu yang diberikan dalam proses pembelajaran privat.

Pelaksanaan sekolah rumah ada yang dilakukan oleh satu keluarga untuk keperluan anaknya sendiri, ada pula yang diwujudkan secara kolegial antara dua atau tiga keluarga bagi anak-anak mereka. Tempat belajar ditetapkan di satu rumah terus-menerus atau bergiliran di antara rumah keluarga-keluarga yang terlibat, bagai mekanisme arisan.

Kegagalan pendidikan

Kegiatan sekolah rumah ini jelas merupakan reaksi personal terhadap pelaksanaan pendidikan sekolah formal yang dewasa ini serba kacau dan penuh ketidakpastian. Adalah wajar bila orangtua mendambakan pendidikan yang dipercaya mampu memberi keturunannya suatu pegangan yang memadai bagi kehidupannya di masa depan, paling sedikit sebagai manusia individual. Di negara merdeka mana pun, pengadaan pendidikan yang ideal ini merupakan misi suci pemerintah, mengingat ia harus bisa menyiapkan warga (citizen) yang andal.

Untuk negara-bangsa kita, misi itu jelas tercermin dalam kalimat di Pembukaan UUD 45 yang menyatakan, Pemerintah Negara Indonesia dibentuk untuk, antara lain, mencerdaskan kehidupan bangsa.

Maka, reaksi warga Indonesia mengadakan sekolah rumah dapat dikatakan bukti awal kegagalan misi pendidikan pemerintah nasional. Bila pendidikan privat jenis ini memarak dan menjadi pengganti (alternatif) pendidikan sekolah formal, dalam jangka panjang ia akan berakibat fatal bagi pertumbuhan anak Indonesia menjadi manusia yang bermasyarakat (homo socialis).

Sebagus apa pun pendidikan sekolah formal yang diusahakan pemerintah, termasuk di negara maju, ia tidak akan dapat memuaskan kehendak orangtua murid untuk memenuhi kebutuhan khusus anaknya terhadap pengetahuan/keterampilan tertentu. Karena menyadari bakat anaknya yang luar biasa di bidang musik atau sekadar demi mengisi waktu di luar sekolah dengan kegiatan-kegiatan positif-didaktis, misalnya, orangtua mendatangkan guru musik ke rumah. Atau mengingat daya tangkap anaknya yang relatif rendah dan lamban untuk pelajaran tertentu, orangtua meminta seorang tutor untuk membantunya di rumah.

Pelaksanaan pembelajaran di rumah seperti ini tergolong pendidikan keluarga (famili education) yang baik karena tidak menjadi pengganti pendidikan sekolah formal, hanya sekadar berupa pelengkap. Hal ini sudah merupakan gejala biasa dalam proses pendidikan negeri maju di mana semangat kompetitif amat diagung-agungkan.

Para pengamat pendidikan Barat amat terkesan dengan peran ibu-ibu di Jepang—yang mereka sebut "education mama"—dalam membantu anaknya agar bisa masuk universitas terkemuka di negerinya. Dalam cuaca apa pun, para ibu itu mengantar dan menunggui anak-anaknya mengikuti pelajaran privat tambahan jauh sebelum mereka menempuh ujian masuk perguruan tinggi.

Memang pendidikan keluarga seharusnya erat bekerja sama dengan pendidikan sekolah formal. Artinya, orangtua dengan sadar dan sengaja berperan sebagai guru kedua di rumah setelah guru berperan sebagai orangtua kedua di sekolah.

Kerja sama ini juga demi mengimbangi berbagai akibat buruk bagi pertumbuhan kemanusiaan anak yang berasal dari pendidikan di dan oleh masyarakat yang secara spesifik tidak jelas menjadi tanggung jawab siapa.

Lain halnya dengan sekolah (pendidikan) di rumah yang dijadikan pengganti pendidikan formal. Di sini anak tidak lagi mendapat pelajaran di sekolah, tetapi hanya di rumah. Jenis sekolah rumah seperti inilah yang sebaiknya tidak dibiasakan karena bisa merusak pertumbuhan anak menjadi manusia yang bermasyarakat.

Seburuk-buruk pembelajaran di sekolah, ia tetap merupakan kesempatan anak untuk belajar bersosialisasi. Dengan bersekolah, untuk pertama kalinya anak diinisiasi mengenal, lalu bergaul dengan orang-orang yang bukan kerabatnya. Bahkan ada kalanya di saat bersekolah itulah dia mulai belajar "berpisah" dari ibu dan bapaknya untuk belajar tegak di atas kaki sendiri, di bawah bimbingan orang-orang asing, berupa guru dan teman.

Memang, di sekolah ini pula si anak akan mengalami penekanan secara mental dan fisik, mungkin ditambah gangguan dalam pelajaran pergi-pulang sekolah. Namun, bukankah hal-hal "pahit" itu merupakan gambaran nyata dari kehidupan yang bakal ditempuhnya sepanjang hayat sebagai makhluk bermasyarakat?

Dia mulai disadarkan, manusia bukan sebuah pulau yang terpisah menyendiri. Mau tidak mau dia akan berhubungan dengan orang-orang yang berbeda asal-usul keturunan/kedaerahan, berlainan kepercayaan dan bahasa ibu, serta berseberangan pendapat/pendirian mengenai berbagai masalah yang sama, dengan karakter berlawanan, dengan citra terpuji yang diunggulkan orangtuanya.

Namun, bukankah di lingkungan sekolah pula tidak jarang terjadi hal-hal "manis" yang tidak terpikirkan sebelumnya. Yang menjadi kenangan abadi di hari tua, membuatnya bernostalgia, bereuni sebisa mungkin dengan teman-teman tempo doeloe.

Sejujurnya, inisiasi human melalui persekolahan ini jauh lebih diperlukan anak dari keluarga berada di kota yang rumahnya berpagar tinggi ketimbang anak keluarga tak berpunya di kampung yang biasa hidup bertetangga secara spontan sejak lahir.

Makhluk bermasyarakat

Di negara-negara maju, sekolah rumah bukan tidak ada. Kebiasaan ini "terpaksa" dilakukan keluarga yang hidup terpencil karena kondisi kerja yang harus dipenuhi; misalnya, menjaga hutan dan national park, mengurus mercu suar, menjalankan perahu angkutan di jaringan kanal dalam negeri. Untuk ini, orangtua dibantu buku-buku dan siaran televisi yang khas untuk keperluan pendidikan privat jarak jauh.

Tulisan ini bukan bermaksud melecehkan hak asasi manusia dari setiap orangtua untuk memilih sendiri jenis pendidikan bagi keturunannya. Ia hanya ingin mengingatkan, hak itu berurusan dengan manusia yang by its very nature merupakan makhluk yang bermasyarakat dan karena itu memerlukan pendidikan yang relevan untuk bisa menjadi begitu.

Ia juga berniat menggugah pemerintah untuk serius membina lingkungan sekolah agar menjadi pusat budaya (sistem nilai) yang kondusif bagi perwujudan dua pengertian, citizenship dan res pubilica (manusia beradab yang bermasyarakat) serta manusia pemikir (homo sapiens).

Kewarganegaraan, baik sebagai fungsi maupun tanggung jawab, meliputi tidak hanya tugas dan kewajiban, tetapi juga hak dan wewenang. Sebab, dengan citizenship dalam kenyataan dimaksud sociality, mengingat tergolong civil society berarti dikaruniai seperangkat wewenang dan hak tertentu untuk mengembangkan dan menyempurnakan diri di masyarakat tanpa harus terkait hak-hak kewarganegaraan menurut artian murni, yaitu politik.

Homo sapiens pantas ditanggapi sebagai the crown of the creation. Berbeda dengan orangutan, penyu, atau elang rajawali, manusia yang berpikir tidak beroperasi sebagai individu-individu yang tersebar secara acak di suatu wilayah, tetapi sebagai pemegang andil dalam khazanah kolektif dari acquired knowledge and skills yang sebagian besar berupa kekaryaan dari generasi-generasi pendahulu. Artinya, sebelum dimatangkan menjadi makhluk yang berpikir, anak manusia harus lebih dulu disiapkan sebagai makhluk beradab yang bermasyarakat. Dan, sejarah human membuktikan sistem pendidikan sekolah formal yang dikonsepkan dengan baik mampu menyiapkan dan mematangkan hal-hal yang disebut tadi.

Tanpa keberadaan warga yang berupa homo sapiens yang tumbuh dari homo socialis, kehadiran Republik Indonesia di peta dunia merupakan kebetulan belaka.

Daoed Joesoef Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Kabinet Pembangunan III, 1978-1983

No comments: