Sunday, August 12, 2007

Waspadai Kebiasaan Jajan pada Anak

Waspadai Kebiasaan Jajan pada Anak

Lusiana Indriasari

Sekarang ini anak-anak sudah sangat terbiasa dengan jajan. Karena dibekali uang oleh orangtuanya, anak terbiasa jajan sembarangan.

Kebiasaan jajan bisa berakibat fatal karena sekarang ini banyak ditemukan kandungan bahan kimia berbahaya pada makanan anak-anak.

Bekal uang jajan biasanya diberikan oleh orangtua yang sibuk bekerja. Mereka tidak sempat menyiapkan makanan buatan sendiri untuk anak-anaknya.

Ada juga orangtua yang gemar membeli makanan siap saji atau makanan dalam kemasan untuk bekal anaknya. Padahal, makanan semacam itu biasanya mengandung banyak gula atau penyedap rasa.

Seorang ibu, sebut saja Melani (31), setiap tiga hari sekali selalu membeli bekal di supermarket untuk anaknya yang masih balita. Ia tidak pernah lupa untuk membeli wafer cokelat, minuman susu dalam kemasan, dan permen cokelat kecil-kecil yang berwarna-warni.

"Ini makanan kesukaan anak saya," tutur Melani yang tinggal di kawasan Tangerang, Banten. Sebagai ibu yang bekerja, Melani memang tidak sempat membuatkan bekal untuk anaknya. Ia harus berangkat pagi-pagi sekali agar tidak terlambat sampai ke kantornya di Jakarta.

Psikolog Mayke Tedjasaputra dari Universitas Indonesia mengungkapkan, budaya ingin serba cepat memengaruhi sikap anak, termasuk kebiasaan mereka untuk jajan. Menurut Mayke, pola jajan pada anak terbentuk melalui pembiasaan.

Orangtua yang sering jajan akan "melahirkan" anak-anak yang suka jajan. Semula anak meniru orangtuanya yang suka jajan. Di sekolah, mereka meniru teman-temannya yang juga suka jajan.

Perilaku ini semakin kuat karena dukungan lingkungan, seperti keberadaan penjual makanan di kantin atau di sekitar sekolah. Penjual makanan keliling yang lewat di depan rumah juga mendorong anak untuk jajan.

Mayke mengatakan, para ibu masa kini banyak yang bekerja di luar rumah. Mereka lalu merasa tidak punya waktu untuk membuat bekal makanan. Faktor harga yang lebih murah juga mendorong orangtua untuk membeli makanan siap saji daripada harus membuat sendiri.

"Ini berbeda dengan zaman dulu ketika para orangtua harus membuat sendiri segala sesuatu yang dibutuhkan untuk hidup sehari-hari, mulai dari pakaian, perlengkapan rumah, hingga makanan," tutur Mayke.

Kebiasaan orangtua mengajak anak-anaknya "makan di luar" setiap akhir pekan, menurut Mayke, juga bisa mendorong perilaku senang jajan. Anak jadi punya anggapan bahwa makan di mal, restoran, atau warung sebagai bentuk rekreasi.

Kurang variasi

Faktor lain yang menyebabkan anak suka jajan adalah kurang bervariasinya makanan di rumah. Anak menjadi bosan dengan makanan yang disiapkan di rumah lalu tergiur dengan jajanan.

Kebiasaan jajan ini lalu diperkuat oleh lingkungan, terutama di permukiman padat penduduk. Ketika salah satu anak tetangga jajan, anak-anak lain tidak mau kalah. Mereka lalu meminta jajan kepada orangtuanya dan menangis kalau tidak diberi. Orangtua merasa tidak tega dan akhirnya memberi jajan kepada anaknya.

Dampak negatif muncul pada anak yang sering jajan. Anak menjadi enggan makan, terutama bila mereka jajan berdekatan dengan waktu makan. Anak juga tidak punya selera terhadap makanan rumah karena mereka terbiasa jajan. Sering kita melihat orangtua terpaksa menyuap anaknya sambil memberikan camilan agar anaknya mau makan.

Mayke mengungkapkan, orangtua punya tanggung jawab membentuk kebiasaan positif kepada anak meskipun mereka sibuk bekerja. Mayke menyarankan agar orangtua tetap menyempatkan diri membuat bekal makanan sendiri.

"Orangtua bisa bangun lebih pagi untuk menyiapkan bekal. Atau segala sesuatunya sudah disiapkan malam harinya sehingga pagi tinggal menyelesaikan pekerjaan akhir saja," lanjutnya.

Menurut Mayke, menyiapkan bekal tidak harus dilakukan oleh ibu, tetapi juga bisa dilakukan oleh ayah. Usaha orangtua menyiapkan bekal anak juga berpengaruh positif terhadap jiwa anak. Anak merasa diperhatikan karena orangtua mau bersusah payah membuatkan makanan untuknya.

No comments: