Sunday, August 12, 2007

Belajar Sambil Mencari Rumus Praktis

Belajar Sambil Mencari Rumus Praktis

Lusiana Indriasari dan Pingkan Elita Dundu

Seleksi penerimaan mahasiswa baru atau SPMB akan dibuka satu tahun lagi. Meski begitu, banyak pelajar SMA sudah mulai membekali dirinya dengan bimbingan belajar. Ada yang ikut pendalaman materi atau sekadar mencari rumus praktis.

Meski nilai di sekolahnya selalu delapan dan sembilan, Arrisa Sutiati (17), akrab dipanggil Rissa, masih tidak percaya diri dengan kemampuannya. Agar bisa lolos SPMB tahun depan, Rissa sudah memilih tempat bimbingan belajar di kawasan Jakarta Selatan.

Pelajar kelas XII SMA (kelas 3) Al-Izhar ini ikut bimbingan belajar sedini mungkin untuk mengulang pelajaran kelas satu dan kelas dua. Ia merasa berat harus mengulang pelajaran tanpa bimbingan. Alasannya, ia masih harus belajar untuk pelajaran di kelas XII. "Kalau ikut bimbingan, kita dibantu mengulang pelajaran," tutur Rissa.

Bimbingan belajar membuat Rissa lebih percaya diri mengikuti SPMB. Ia merasa tidak "aman" jika tidak ikut bimbingan belajar. Menurut Rissa, sebagian besar anak di sekolahnya ikut bimbingan belajar.

"Aku takut enggak keterima di universitas negeri karena saingannya berat," kata Rissa. Tahun depan ia ingin masuk kedokteran gigi, akuntansi, dan psikologi di Universitas Indonesia.

Sekar Anggraeni (17), pelajar SMA swasta di Bekasi, punya alasan sama. Selain karena kurang memahami pelajaran di sekolahnya, Sekar ikut bimbingan belajar agar lebih percaya diri ketika menghadapi tes SPMB. Sekar bahkan sudah ikut bimbingan belajar sejak kelas XII SMP.

Sekar ikut bimbingan belajar Nurul Fikri di Bekasi yang tidak jauh dari rumah. "Kalau dulu fokusnya ke pelajaran sekolah, sekarang saya fokus ke SPMB," kata Sekar. Ia masuk bimbingan belajar seminggu dua kali.

Ketika masih di kelas XI, Rissa juga sudah ikut bimbingan belajar. Namun, bimbingan tersebut lebih mengarah ke pendalaman materi pelajaran yang diajarkan guru di sekolah. Rissa bisa datang kapan saja jika ada pelajaran sekolah yang kurang dipahaminya.

Biaya tinggi

Bagi orangtua, bimbingan belajar berarti mengeluarkan uang yang jumlahnya tidak sedikit. Di Jakarta banyak penyelenggara bimbingan belajar yang mematok harga tinggi. Biayanya bisa dibilang "bersaing" dengan uang masuk sekolah favorit.

Tira (49), orangtua Rissa, misalnya, harus membayar Rp 6,5 juta agar anaknya bisa ikut bimbingan belajar selama 12 bulan. Biaya itu untuk program bimbingan belajar biasa. Apabila ada yang ingin mengambil program jaminan, orangtua harus membayar Rp 11 juta.

Program jaminan ini lebih mahal karena memberi "garansi" kepada orangtua bahwa anak-anaknya pasti diterima di universitas negeri. Kalau tidak diterima, menurut Tira, uang akan dikembalikan setelah dipotong biaya Rp 2 juta. Seluruh uang bimbingan itu harus dibayarkan langsung di muka.

Nuryani (36), orangtua Sekar, merogoh kocek Rp 1.780.000 untuk bimbingan belajar anaknya selama 12 bulan. Jumlah ini sudah dipotong 30 persen dari biaya sebelumnya karena Sekar masuk ranking lima besar dari tes yang diadakan tempat bimbingan tersebut.

Karena sudah membayar mahal, orangtua tentu punya harapan anaknya bisa diterima di perguruan tinggi negeri. Namun, kenyataan tidak selalu demikian. Ratna Farida (46) punya pengalaman pahit mencari perguruan tinggi untuk anaknya, Ditya (17), alumnus SMA Negeri 81 Jakarta Timur.

Ditya tidak lolos SPMB bulan Agustus lalu. Padahal, ia sudah ikut bimbingan belajar favorit yang biayanya mahal. Ditya ingin masuk fakultas kedokteran di Universitas Indonesia atau Universitas Sebelas Maret.

"Ditya kecewa sampai berhari- hari," ungkap Ratna. Ia berusaha memberi pengertian kepada anaknya agar mau masuk perguruan tinggi swasta. Menurut Ratna, kuliah di perguruan tinggi swasta tetap bisa menjamin masa depan anaknya. Ditya kini kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia di Jakarta. Tahun depan ia berencana mengulang tes SPMB.

Kepanikan orangtua dan anak menghadapi tes SPMB tampaknya dimanfaatkan dengan baik oleh penyelenggara kegiatan bimbingan belajar. Selain bimbingan di luar sekolah, sebenarnya banyak sekolah SMA yang mengadakan bimbingan belajar sendiri.

Bimbingan belajar di dalam lingkungan sekolah biasanya diadakan oleh alumni sekolah bersangkutan dan biasa disebut bimbingan tes alumni (BTA). Ekadewi (21) atau Dewi, alumnus SMA Negeri 81 Jakarta Timur, mengikuti BTA di sekolahnya beberapa tahun lalu.

Dewi memilih ikut BTA daripada bimbingan belajar di luar sekolah. Alasannya, biayanya lebih murah. Ketika itu, ia hanya dikenai biaya Rp 700.000 yang bisa dibayarkan dua kali. Bimbingan tes alumni ini membimbing siswa untuk menghadapi ujian akhir nasional (UAN) dan SPMB.

Meski tidak ikut bimbingan belajar yang biayanya mencapai jutaan rupiah, Dewi berhasil lolos SPMB dan diterima di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Program Studi China Universitas Indonesia.

Selain BTA, kadang-kadang pihak sekolah juga bekerja sama dengan penyelenggara bimbingan belajar dari luar sekolah. Menurut Tira, cara ini lebih "aman" karena sekolah hanya mengambil program yang digunakan bimbingan belajar tersebut. Adapun penerapannya dilakukan sendiri oleh guru sekolah. "Bagaimana pun guru sekolah lebih kenal dan mengerti anak didiknya," ujar Tira.

Rumus praktis

Ada alasan lain mengapa pelajar SMA lebih memilih bimbingan belajar dibandingkan dengan les di sekolahnya. Mereka masuk bimbingan untuk mencari rumus praktis.

Menurut beberapa anak yang pernah mengikuti bimbingan belajar, rumus praktis sangat berguna untuk kecepatan mengerjakan soal, terutama bagi anak yang mengambil jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), karena sebagian besar soalnya adalah hitungan.

"Dengan rumus praktis ini kita bisa menyelesaikan soal lebih banyak dengan benar," ungkap Wisnu (21) yang berhasil menembus Institut Teknologi Bandung (ITB) berkat rumus praktis yang dipelajarinya. Menurut Wisnu, dengan rumus biasa, ia baru bisa memperoleh hasil akhir setelah menghitung dengan cara berbelit-belit.

Bagi sebagian anak, rumus praktis justru membingungkan. Pasalnya, rumus praktis hanya berlaku untuk kondisi tertentu saja. Kalau bentuk soalnya diubah, sering kali rumus praktis itu sudah tak bisa dipakai. "Ketika kita mau pakai rumus yang biasa, ternyata kita udah lupa rumus aslinya karena terlalu sering pakai rumus praktis," kata Dewi.

Dewi menerapkan sistem belajar "sersan", serius tapi santai, untuk menghadapi SPMB. Ia mengaku merasa tertekan dan tidak bisa menyerap pelajaran jika pulang sekolah masih harus bimbingan belajar sampai malam. Meski "sersan", Dewi tidak mau terlalu mengandalkan rumus praktis.

No comments: