Tuesday, September 25, 2007

Preman Jalanan

Preman Jalanan

Jadwal bus di kota yang teratur selalu tepat, kecuali jika terjadi force majeure. Beda dengan bus di Jakarta yang selama hampir setengah abad tak bisa diandalkan.

Busway, salah satu moda bus rapid transit (BRT), ingin mengakhiri penyakit itu. BRT disebut dengan quality bus karena tujuannya memberikan servis lebih baik.

Ia disebut rapid transit karena melayani jarak menengah-jauh, bukan jarak dekat. Ia cepat karena tak sering singgah di halte walau kecepatannya tak sampai 100 km/jam.

BRT ditentang karena butuh dana besar untuk membangun jalan khusus—misalnya BRT Orange Line di Los Angeles, Amerika Serikat. BRT Rapid, juga di Los Angeles, menambah kemacetan karena dioperasikan di jalan umum.

Makanya busway di Jakarta jalan pintas yang kontroversial sehingga warga Pondok Indah menentangnya. Hanya di sana ada sebuah jalan besar dihiasi patung-patung berlampu sorot.

Hanya di sana banyak portal, tong, atau polisi tidur. Anda pasti kesasar jika masuk Pondok Indah saat malam karena nyaris semua jalan ditutup portal.

Sebagian warga mengajukan class action terhadap pemerintah yang menaikkan tarif tol. Rakyat bukan hanya membiayai investasi pembangunan tol, PLN pun tiap bulan menagih biaya penerangan jalan.

Banyak yang tak tahu berapa kecepatan maksimal/minimal di tol. Akibatnya, mobil di belakang suka memencet klakson meski Anda benar karena spidometer menunjukkan kecepatan maksimal 80 km/jam.

Banyak juga mobil melaju di jalur paling kanan di bawah kecepatan minimal 60 km/jam. Mereka itulah yang justru suka ngedumel "jalan tol macet melulu".

Saat masuk terowongan mobil menyalakan lampu hazard yang kelap-kelip, bukannya "lampu besar". Saat tol macet, konvoi pejabat pun tak sungkan-sungkan ngebut di bahu jalan.

Kalau menabrak kucing, biasa sang sopir berhenti, mengelilingi bangkai kucing tujuh kali, dan berhenti menyetir 40 hari. Jika menabrak orang, ya lari.

Ketika lewat jembatan berpohon beringin sopir membunyikan klakson tiga kali sambil mengucapkan doa-doa "sakti". Kalau ada huruf tanda larangan berhenti di tepi jembatan, siapa yang peduli?

Hari Sabtu lalu, jalan protokol ditutup dalam rangka Car Free Day. Namun, Bang Yos meninjau pelaksanaannya dengan mobil.

Wagub baru dapat jatah Camry anyar dan para anggota DPRD kebagian Altis baru. Seorang anggota DPRD berkilah bahwa Altis itu untuk menjalankan "tugas perjalanan".

Jadi jalan itu milik siapa sih? Walau semua aturan menyebut "jalan umum", semua merasa paling berhak.

Cepék man penguasa tikungan, bukan polisi. Tak sedikit orang penting menutup jalur lambat di depan rumahnya dengan portal seolah-olah milik pribadi.

Jalan adalah "lajur politik". Ia bak taman bermain bagi tiap aktor untuk mempraktikkan politik karena jalan lebih bergengsi ketimbang nongkrong di istana atau ngelamun di Gedung MPR/DPR.

Jalan efektif untuk tiap jenis perjuangan. Ia jadi "tujuan wisata" utama pengunjuk rasa dan juga sarana ampuh untuk menarik simpati dari rakyat.

Di jalanlah demonstran meneriakkan demokrasi, meski metromini yang mengangkut mereka parkir seenaknya. Di jalanlah pendemo mengaku membela kepentingan umum, meski mereka membuang sampah sembarangan.

Kalau situasi tegang, aparat memblokade jalan karena demonstran menutup jalan. Kalau situasi sudah cair, giliran para pedagang bakso dan teh botol menguasai jalan.

Ingat, republik ini lahir di tepi jalan saat Proklamasi diucapkan di halaman rumah di Jalan Pegangsaan. Bangsa ini pecah juga di jalan akibat ulah Letkol Untung dan anak buahnya berkeliaran di jalan-jalan di Monas, Menteng, dan Kebayoran.

Periodisasi sejarah bangsa ini disimbolkan dengan proyek pembangunan jalan. Belanda membangun Anyer-Panarukan dan Orde Lama punya Jalan Jakarta Bypass bantuan dari AS.

Orde Baru terkenal suka membangun tol yang lebih mahal daripada Taj Mahal. Orde Reformasi masyhur berkat kultur "jalan-jalan" pejabat/politisi yang rajin melawat/studi banding ke luar negeri.

Di republik ini kata jalan sangat politis. Bung Karno marah jika revolusi "berhenti di tengah jalan", Pak Harto minta rakyat berkorban demi pembangunan saat tanahnya digusur untuk pelebaran jalan.

Setelah Pak Harto tumbang, reformasi enggak pernah jalan. Kini kita suka merenung apakah ada jalan keluar atau jalan pintas agar republik ini selamat?

Jenderal Besar AH Nasution penggagas ideologi "Jalan Tengah" yang kebablasan jadi Dwifungsi ABRI. Rakyat yang kecewa lebih percaya kepada "parlemen jalanan" daripada parlemen beneran.

Pengendara di Ibu Kota sering tak tahu penyebab jalan macet total. Sampai kini tak ada yang tahu kenapa republik gégér gara-gara pelatih karateka dipukuli polisi Malaysia ketika sedang jalan-jalan.

Aparat keamanan tak hafal nama jalan tempat Nurdin Halid ditangkap. Maklum di Menteng ada puluhan nama jalan, mulai dari nama pulau, kota, sampai pahlawan.

Di antara kita banyak preman jalanan. Mereka tak tumbuh normal karena "besar di jalan".

Mereka doyan nongkrong daripada kerja, suka berwacana daripada tutup mulut, dan tak jantan alias gemar keroyokan. Sungguh kasihan.

No comments: