Thursday, January 14, 2010

Tailor Rumahan yang Kian Terjepit

Mendung seakan belum sirna bagi para penjahit seperti Deni (36). Pemilik Rees Tailor di Jalan KS Tubun, Petamburan, Jakarta Pusat, itu masih harus berhemat lantaran aneka jenis harga barang naik, sementara ongkos jahit tidak bisa dinaikkan. ”Sudah dua tahun terakhir, ongkos jahit tidak naik. Ya, bagaimana mau menaikkan ongkos, wong dengan ongkos yang ada sekarang saja sudah banyak pelanggan yang kabur,” kata Deni.

Pria yang sudah menjadi penjahit sejak tahun 1997 itu memungut Rp 75.000 untuk ongkos menjahit celana panjang, Rp 70.000 untuk kemeja, dan Rp 750.000 untuk jas. Biaya itu belum termasuk harga kain yang akan dijahit. Dengan kondisi itu, produk jahitan dari penjahit Deni harus bersaing dengan pakaian jadi produk industri besar yang harganya semakin murah.

Apalagi kalau harus diadu dengan harga jual pakaian jadi dari mancanegara yang kini kian menyesaki pasar di dalam negeri. Produk yang masuk itu bukan hanya pakaian baru berharga murah, tetapi juga pakaian bekas impor yang terus membanjiri sejumlah pasar hingga pusat perbelanjaan di Jakarta.

Radius 3 kilometer dari tempat Deni menerima order menjahit pakaian, misalnya, ribuan kemeja batik dijual dengan harga Rp 35.000 per potong. Di pasar swalayan serba ada, sepotong celana panjang dibanderol Rp 65.000. Sementara itu, jas bekas dari Jepang, China, atau Korea yang dijual di pasar bisa diperoleh cukup dengan harga Rp 150.000 dengan kondisi yang cukup baik. Apabila dibandingkan dengan jas jahitan Deni, produk jahitan yang dihasilkan penjahit rumahan itu menjadi terasa sangat mahal.

Kini, pakaian jadi yang murah meriah juga merambah pakaian pesta. Syafi’i (59), pemilik Victoria Tailor di Jalan Kebon Kacang VI, Tanah Abang, merasakan tekanan itu. Kini hanya dengan 400.000 sudah bisa membeli pakaian kebaya yang sudah jadi. ”Padahal, kalau menjahitkan ke saya, ongkosnya saja sudah Rp 750.000. Itu belum termasuk harga kain.”

Kian murahnya produk garmen di pasar membuat order yang diterima Syafi’i kian berkurang. Padahal, pangsa pasar pakaian perempuan lebih lapang bila dibandingkan pasar untuk pakaian laki-laki.

Oleh sebab itu, langganan yang pergi bukan lagi hal aneh bagi mereka. Begitupun ketika langganan yang biasa menjahitkan baju dalam jumlah besar, kemudian mengurangi pesanan mereka. Biasanya mereka bisa mendapatkan pesanan 3-5 jahitan celana dalam sepekan, kini jauh di bawah itu.

Bertahan

Kini para penjahit terpaksa mengencangkan ikat pinggang. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menekan pelbagai jenis pengeluaran. Pengurangan jumlah tenaga kerja hingga penyempitan ruang kerja sudah dilakukan. Deni, misalnya, sejak tahun 2005 telah menyekat rumah yang dijadikan tempat usaha menjahit tinggal menjadi seperempat ruang. Tiga perempat bagian lainnya dikontrakkan kepada pengusaha konfeksi tas.

”Sebelum 2005, saya punya empat tukang jahit. Sekarang, tinggal satu penjahit. Itu pun kadang kala kami harus menganggur karena tidak ada order sama sekali,” ucap Deni.

Syafi’i juga memangkas jumlah penjahitnya dari 17 orang tinggal menjadi satu orang. Hal yang sama juga dilakukan Lusi, salah seorang penjahit di Kelurahan Jati Bunder. Lusi terpaksa merumahkan tiga tukang jahitnya. ”Sekarang, tinggal saya dan suami yang menjahit.”

Banyak alasan mereka harus merumahkan pekerjanya. Salah satunya adalah beratnya bersaing dengan para pelaku industri. Dalam hal upah jahit, misalnya, pelaku industri hanya mengupah pekerjanya Rp 2.000-Rp 3.000 per potong pakaian. Sementara industri rumahan seperti Deni harus membayar Rp 25.000 per potong pakaian.

Belum lagi bila bicara tentang harga benang, kancing, atau retsleting yang harganya terus naik dari waktu ke waktu. Biaya produksi yang harus dibayar penjahit rumahan jauh lebih mahal dibandingkan pabrikan. Dengan demikian, bagi mereka, untuk bersaing dengan produk garmen, rumahan kian berat.

Sempat terlintas di benak para penjahit itu untuk mengubah usaha mereka dari penjahit menjadi pengusaha konfeksi, tetapi mereka terbentur dengan modal dan upaya pemasaran produk konfeksi.

Akhirnya, penjahit seperti Deni, Syafi’i, dan Lusi hanya bisa bertahan di tengah gempuran pakaian jadi dengan kondisi seperti saat ini. Satu-satunya andalan para penjahit untuk bertarung di pasar pakaian yang semakin padat ini adalah kerapian jahitan serta kenyamanan pakaian yang dikenakan.

Inilah nasib para penjahit di era pasar bebas. Mereka hidup tanpa perlindungan sama sekali di rimba yang berslogankan ”Yang Kuat, Yang Menang” meskipun mereka berpeluang untuk menciptakan lapangan kerja yang mandiri. (ART)

No comments: