Thursday, June 19, 2008

Tahan Banting di "Tikungan Maut"

Jika sebagian besar orang memulai berwirausaha karena tak ada pekerjaan lain, Tri Setyo Budiman (47), Sudirman Kiton (58), dan Bimada (41) justru dengan sangat yakin memilihnya sebagai jalan hidup. Mereka bertekad untuk mandiri, tidak membebani pemerintah, dan menciptakan lapangan kerja bagi orang lain.

Dasar pertama memulai usaha sendiri adalah ideologi yang kuat, baru mencari metodologi yang tepat untuk mengimplementasikannya. Para pemula harus ingat, membangun usaha tak bisa dalam waktu singkat. Harus ada proses, yang bisa melatih kita agar tidak tergelincir di setiap ’tikungan maut’,” kata Tri di Jakarta, Jumat (13/6).

Semangat yang kuat adalah modal utama berwirausaha. Semangat itu kemudian diwujudkan dengan mencari pola manajerial praktis, yang mudah diterapkan sehari-hari sambil terus memperbaiki kelemahan.

Introspeksi diri, perbaikan manajerial, dan penguatan kemampuan sumber daya manusia sangat berguna dalam proses meningkatkan skala usaha.

Dengan konsisten dan disiplin diri sendiri, Tri kini memiliki 15 gerai Ba’so Ino. Langkah awalnya dimulai dari warung ukuran 3 meter x 2,5 meter di Jalan Empang Tiga, Kalibata, Jakarta Selatan, yang dibuka tahun 1997. Ia sukses melewati berbagai ”tikungan maut” perekonomian nasional karena terus berkreasi sambil menjaga kualitas produk.

Hal itu belum tentu bisa dilakukan pengusaha instan. Itu sebabnya ada usaha-usaha besar yang kemudian redup dan akhirnya bangkrut saat dijalankan oleh generasi kedua.

Dengan kesadaran penuh, Tri meninggalkan pekerjaannya sebagai penanggung jawab pemasaran kemasan produk makanan segar Cryovac produksi William Russel Grace Company untuk wilayah Indonesia. Walau sudah bergaji Rp 7,5 juta per bulan pada tahun 1995, Tri merasa sudah memiliki kemampuan manajerial dan modal untuk memulai usaha sendiri.

”Banyak orang yang mengatakan saya berpikir mundur. Padahal, tidak. Saya punya impian lain yang harus diwujudkan dengan membangun usaha sendiri,” kata Tri.

Ayah tiga anak ini membangun bisnis kaki limanya dengan mengutamakan kebersihan dan pelayanan. Sebagian pengusaha kaki lima cenderung mengabaikan kebersihan, padahal kebersihan turut membangun loyalitas pelanggan.

Tetap membina

Ba’so Ino tidak hanya berkembang di Pulau Jawa. Saat ini Tri mempersiapkan satu gerai di mal terbesar di kawasan Nagoya, Batam. Dari hanya tiga karyawan, kini Tri mempekerjakan sekitar 300 orang.

”Sudah ada lima anak buah saya yang juga berdagang bakso. Mereka sukses menjiplak cara saya berusaha dan saya rela. Kalau saya tidak membiarkan mereka berkembang dan membinanya, justru saya yang salah. Keberhasilan mereka berusaha menjadi bagian dari kesuksesan saya. Kepada pekerja yang lain, saya tawarkan juga untuk mandiri,” kata Tri.

Pada skala kecil, Kiton menerapkan prinsip serupa. Ayah empat anak yang mulai berdagang sejak tahun 1997 itu awalnya hanya memiliki satu warung satai padang kaki lima di dekat pasar tekstil Cipulir, Ciledug. ”Sejak enam tahun lalu saya membuka satu cabang lagi di Pesanggrahan. Rusman, anak saya, yang mengurus,” kata Kiton.

Namun, sebulan terakhir ini ia harus menjaga kedua warungnya karena Rusman (30) memperluas usahanya dengan memasok produk tekstil ke pertokoan di sekitar Tangerang, Banten. Beruntung, pengoperasian warung di Cipulir mengikuti aktivitas perdagangan tekstil yang mulai sepi sekitar pukul 15.00.

”Kalau satai sudah habis, bisa langsung tutup. Tetapi, kalau belum, ya, tunggu sampai Pasar Cipulir mulai sepi. Setelah istirahat di rumah, kembali berdagang di Pesanggrahan mulai pukul 17.00,” ujar Kiton.

Tekad kuat untuk membangun kewirausahaan juga mengalir dalam diri Bimada (41). Ayah tiga anak asal Surabaya, Jawa Timur, ini banting setir dari pekerjaannya di bidang kargo menjadi produsen mi ayam.

”Yang diperlukan adalah inovasi. Kita mesti cerdik, tetapi jangan curang,” kata Bimada, yang kini memiliki 100 mitra restoran di berbagai daerah.

Menurut Bimada, pasang iklan mengeluarkan duit. Oleh karena itu, apa salahnya sesekali duit itu dipakai untuk mentraktir. ”Undang saja kawan-kawan. Niscaya, apabila enak pelayanannya, enak sajiannya, dan enak lokasinya, mereka pasti akan bercerita kepada teman-teman lainnya,” tuturnya.

Berawal dari 193 gerobak dorong bermerek dagang Bakmi Raos, kini mitra strategis Bimada makin berkembang. Nama yang diusung tetaplah ”Raos”, diambil dari bahasa Sunda yang artinya enak. Bisa pula sebuah akronim dari ”rasa restoran”.

Bagi Bimada, wirausahawan acap kali hanya berpikir soal modal dan lokasi berjualan. Memang, keduanya penting, tetapi yang paling dibutuhkan adalah semangat kewirausahaan, gigih, dan pantang menyerah.

Untuk menarik lebih banyak mitra, Bimada melebarkan sayap usahanya tidak lagi hanya di wilayah Jakarta, yang pasarnya 4.000-5.000 porsi per hari, tetapi juga merambah ke Batam, Tanjung Balai Karimun, Jambi, Surabaya, dan Ponorogo.

Kenaikan harga berbagai kebutuhan pokok belum disikapi oleh Bimada ataupun mitra binaannya dengan menaikkan harga jual. Namun, dia meyakini, lambat laun konsumen akan menyesuaikan keuangannya untuk tetap membeli. Jangan takut! (HAM/OSA)

No comments: