Sunday, May 06, 2007

Biarkan Anak Bermain...

Biarkan Anak Bermain...

Susi Ivvaty & Pingkan Elita Dundu

Anak terlalu banyak bermain? Orangtua pun khawatir, takut kalau-kalau ia tidak mendapat ranking di sekolah karena waktu belajar berkurang. Padahal, dengan bermain, anak tidak hanya bisa pintar secara intelektual, tetapi juga cerdas secara emosional dan sosial. Jadi, mengapa takut bermain?

Di zaman serba kompetitif, orangtua berhak merasa waswas akan masa depan anaknya, jangan sampai tidak sukses. Maka, anak pun didaftarkan berbagai macam les, mulai Matematika hingga Bahasa Inggris. Orang dikatakan sukses jika pintar di sekolah dan bisa sekolah minimal S-2.

Bagi Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Sarlito W Sarwono, pendapat bahwa bermain bisa menghambat kesuksesan anak itu adalah takhayul. "Ada yang bilang, orang yang pintar di masa dewasa pasti sudah pintar sejak anak-anak. Sementara faktanya, orang-orang yang sukses justru punya masa kecil yang kurang bisa dibanggakan, seperti membantah orangtua, nakal, dan lain-lain," ujarnya.

Menurut Sarlito, takhayul mengenai kesuksesan itu mengakibatkan orangtua membatasi waktu bermain anak. Bermain diatur jamnya, tempatnya, jenis permainannya, dan bahkan kawan bermainnya. "Padahal, porsi bermain bagi anak itu seyogianya jauh lebih banyak dibandingkan belajar," katanya.

Kebutuhan bermain

Sebenarnya makin banyak orangtua mengerti makna pentingnya bermain dan menganggap hal itu sebagai kebutuhan. Hanya, kadang-kadang mereka belum menemukan permainan yang paling cocok, meski sebenarnya orangtualah yang paling mengerti keadaan buah hatinya.

Pasangan Shahnaz Haque dan Gilang Ramadhan membagi pengalaman saat keduanya bermain bersama tiga anak mereka, Pruistin Aisha (5), Charlotte Fatima (4), dan Mieke Namira (1). Permainan bagi ketiganya bisa jadi berbeda karena tiap-tiap anak itu unik dan istimewa. "Kami memberikan permainan yang sama kepada anak-anak, namun hasilnya bisa berbeda. Kami biasa membawa anak-anak ke tempat-tempat berbuka, bermain bersama alam. Hasilnya, Prue, anak pertama kami, menjadi risk taker, berani ambil risiko, sementara yang kedua berbeda," ujar Shahnaz.

Maka itu, Shahnaz dan Gilang membebaskan anaknya bermain sebatas tidak membahayakan diri mereka. Pasangan ini juga menawarkan berbagai jenis permainan sehingga anak-anak bisa memilih. Selain boneka tangan, keduanya juga mengajarkan permainan musik dan berbagai permainan yang merangsang kognisi. "Kami lebih banyak membebaskan anak-anak kami bermain di luar rumah, bersama anak-anak kampung," kata Shahnaz.

Soal bermain ini, tak jarang Shahnaz dan Gilang berbeda pendapat, meski akhirnya bisa dikompromikan. Shahnaz awalnya tidak sepakat jika anaknya main hujan, berlari-larian di halaman saat hujan turun. Namun, karena anaknya suka dan Gilang merasa tidak masalah, ia pun bahkan ikut bermain. "Anakku senang sekali bermain hujan, apalagi sama temannya. Tadinya saya waswas, takut anak saya sakit. Tapi setelah mandi pakai air hangat, ternyata sehat-sehat saja tuh," ujar Gilang.

Nor Khakim (38) dan istrinya, Mahani (34), warga Bojong Menteng, Bekasi, juga tidak membatasi waktu bermain dua putrinya, Alviani N Fadila (11) dan Nadia Nandra Kamila (5). Boleh bermain sepuasnya sampai sore, sedangkan malam hari untuk belajar. "Namun, permainan kami pilih yang bermanfaat dan harga terjangkau," kata Khakim yang berprofesi sebagai karyawan swasta ini.

Maka, Khakim membelikan piano untuk melatih bakat seni anak dan boneka untuk melatih kelembutan. Menurut dia, mainan rumah-rumahan atau boneka bisa membuat anak-anak dekat dan mencintai rumah. "Kami jarang main ke mal, khawatir anak-anak menjadi konsumtif. Kami memilih membawa anak-anak ke toko buku atau taman rekreasi. Syukurlah, anak-anak kami suka bermain piano dan organ, juga gemar membaca dan mengarang," jelasnya.

Hal yang sama dilakukan Rina Hastuti (34), seorang polisi wanita. Ia membebaskan dua putranya, Dimas (7) dan Bimo (5), memilih permainan sendiri dan juga tidak membatasi keduanya bermain di luar rumah asal pulang menjelang magrib. "Dulu waktu masih batita, saya memilihkan mainan, namun sekarang saya hanya mengarahkan, apakah permainan itu bermanfaat atau tidak," katanya. Saat ini Dimas sedang menyukai mainan robot, mobil-mobilan, serta menyusun posisi brigade tentara.

Bagi Rina dan suaminya, bermain bersama anak adalah saat untuk mendekatkan diri mereka secara emosi dengan anak sehingga mereka selalu menyempatkan waktu untuk bermain bersama Dimas dan Bimo seusai pulang kerja. "Khusus Sabtu dan Minggu, anak-anak kami ajak jalan-jalan," kata Rina.

Mengutip Goltsman Moore dan Lacofano (1992), bermain adalah sebuah proses di mana seorang anak dapat belajar. Kesempatan bermain yang berkualitas membawa pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan anak.

Menurut Sarlito, yang terpenting bagi orangtua adalah bermainlah dengan anak-anak sehingga semuanya terlibat. Permainan itu bisa dengan menyanyi, misalnya lagu Satu-satu (sambil belajar menghitung), Ular Naga Panjangnya (belajar mengenal hewan), atau Topi Saya Bundar (belajar geometri).

Semakin besar anak, permainan makin terstruktur, kompleks, dan ada aturan yang harus diikuti sehingga anak bisa belajar nilai-nilai penting yang sangat berguna untuk kehidupannya kelak. Ayo bermain...!

No comments: