Sunday, February 17, 2008

Andrea Hirata

Andrea Hirata
Fenomena Milyarder Laskar Pelangi

Laskar Pelangi (Himawijaya`s Blog)
Tumpukan buku di atas meja itu sudah setinggi dada orang dewasa. Di sebaliknya, Andrea Hirata Seman meregangkan jari-jari tangan kanannya. Lima pena hitam tergeletak di depannya. Ia lalu memegang pena lagi dan membubuhkan tanda tangan di atas buku-buku yang disodorkan padanya.

"Lihat, jari saya sampai sakit beneran lho!" Andrea memperlihatkan lekukan bekas pena di ujung jari tengahnya. Ia membuang napas. "Hari ini 700 dulu, ya?" katanya kepada dua karyawan Mizan yang menata buku-buku itu di kantor percetakan Inti Jaya Sukses, Jalan Terusan Pasirkoja, Bandung.

Rencananya, Rabu dua pekan lalu itu, Andrea menandatangani 3.000 buku Laskar Pelangi edisi eksklusif. Hamparan buku yang menunggu sentuhannya itu memenuhi hampir separuh lantai II ruko tersebut. Jumlah tadi masih sebagian dari 8.000 buku edisi hard cover yang diterbitkan Bentang Pustaka.


Buku edisi lux itu dikemas khusus setelah dilengkapi cakram video wawancara Andrea di "Kick Andy" Metro TV. Plus undian napak tilas bersama Andrea ke "situs" Laskar Pelangi di Belitung. Sayang, Andrea tidak sanggup meneken hingga 3.000 eksemplar. "Akhirnya disepakati 1.000 saja," kata lelaki kelahiran 24 Oktober 1973 itu.

Laskar Pelangi, sejak kali pertama diterbitkan, September 2005, tak ubahnya ayam petelur nan subur. Novel ini memang terbilang fenomenal sedari awal. Hanya dalam waktu sepekan setelah beredar di pasaran, Laskar Pelangi dicetak ulang.

Gemanya meluas ketika sejumlah mailing list buku dan sastra membahas keunggulan novel itu. Mulai sosok penulisnya, seorang karyawan BUMN yang dianggap tidak punya asal-usul di dunia sastra, hingga proses penulisannya yang dianggap ajaib. Lewat Laskar Pelangi, Andrea memikat hati para pembaca dengan cepat.

Ia menjadi magnet dalam setiap diskusi buku. Akhir November lalu, misalnya, ia menyedot lebih dari 1.000 guru dalam pameran buku di Sasana Budaya Ganesha, Bandung. Wajar saja jika harian Republika menobatkannya sebagai tokoh perubahan 2007.

Andrea memang meniatkan buku itu sebagai persembahan untuk Ibu Muslimah, guru SD Muhammadiyah di Belitung, tempat ia menghabiskan masa kecilnya. Buku ini berlatar kehidupan sebuah pulau yang kaya akan timah. Tapi ia justru bersekolah di gedung doyong yang siap roboh jika diseruduk kambing yang berahi.

Di balik ironi itu, muncul dua sosok guru penuh pengabdian: Pak Harfan, kepala sekolah, dan Ibu Muslimah. Kedua guru itulah yang senantiasa mengobarkan semangat ke-10 anggota Laskar Pelangi --murid-muridnya.

Niat Andrea membukukan kisah hidupnya juga terpatri pada masa itu. Dikisahkah, ketika itu hujan sangat lebat. Ke-10 murid itu gelisah karena Ibu Muslimah tak kunjung tiba. Kegelisahan itu sirna ketika dari kejauhan mereka melihat sosok Ibu Muslimah datang berpayung daun pisang.

"Pada saat itu, saya berjanji dalam hati, suatu saat akan menulis buku tentang Ibu Muslimah," katanya. Ketika menjadi relawan setelah tsunami menerjang Aceh, sebuah poster mengingatkan Andrea akan janjinya. Bunyi poster itu: "Jangan menyerah, ayo sekolah!"

Sepulang Andrea dari Aceh, jari-jarinya mulai dialiri memori masa kecilnya. Menulis menjadi bagian malam-malamnya yang insomnia. Semua berjalan lancar, hingga ia tiba pada sebuah judul: Elvis Has Left the Building.

Ia butuh lima hari untuk menetralkan emosi ketika menulis kisah si jenius Lintang, yang bersepeda 40 kilometer ke sekolah, melewati sungai, dan sesekali berjumpa buaya. Teman sebangkunya itu harus meninggalkan sekolah karena ayahnya meninggal.

Naskah setebal 700 halaman itu rampung dalam waktu 21 hari. Andrea menggandakannya jadi selusin. Satu untuk hadiah ulang tahun Ibu Muslimah, 11 lagi untuk anggota Laskah Pelangi. Belakangan, geng anak kampung itu bertambah satu anggota: Flo, putri pejabat PN Timah.

Ceritanya berubah ketika seorang teman diam-diam mengirimkan naskah itu ke penerbit. Pada saat Laskar Pelangi diluncurkan di Perpustakaan Diknas, Jakarta, Desember 2005, Andrea berjanji tidak akan mengambil sepeser pun dari Laskar Pelangi. Maklum, dia karyawan BUMN.

Meski sudah beberapa kali cetak ulang, mulanya ia tak juga memberi nomor rekening bank untuk menampung royalti. Tak sampai satu tahun, Laskar Pelangi beradik. Buku kedua, Sang Pemimpi, terbit pada Juli 2006. Buku ketiga, Edensor, terbit pada Agustus 2007.

Buku ini mengisahkan petualangan Ikal ketika mendapat beasiswa untuk bersekolah di Sheffield Hallam University, Inggris, dan Sorbonne University, Paris. Kedua buku terakhir masing-masing sudah dicetak di atas 100.000 eksemplar. Bahkan Edensor masuk sebagai lima besar finalis Anugerah Sastra Khatulistiwa.

Sedangkan buku keempat, Maryamah Karpov, akan terbit tahun ini. Sebagaimana Ibu Muslimah, dalam setiap bukunya Andrea tak pernah berhenti mengobarkan semangat. Di antara tawa dan haru, ia menyelipkan beragam pesan. Semisal, hiduplah untuk memberi sebanyak-banyaknya, bukan untuk menerima sebanyak-banyaknya. Atau, pesimistis adalah sikap takabur, mendahului nasib.

Kini Laskar Pelangi sudah dicetak hingga lebih dari 250.000 eksemplar. Lewat penerbit PTS Litera Sdn Bhd, buku itu juga beredar di Malaysia. "Kemarin ada penerbit dari Spanyol yang mau menerbitkan dalam bahasa Inggris," ujar Andrea.

Nah, dengan royalti hampir menembus angka Rp 1 milyar, apakah Andrea melupakan janjinya? "Saya tetap konsisten," katanya. Uang itu kini dipakai untuk menggerakkan "Laskar Pelangi in Action". Lagi pula, kata dia, Rp 1 milyar tak ada artinya.

"Saya ingin ide ini bergulir sehingga orang lain terinspirasi," tuturnya. Ia menyebutnya MLM (multilevel marketing) intelektualitas. Laskar Pelangi in Action adalah proyek untuk memajukan pendidikan di Belitung. Dengan uang itu, ia mengirim 22 anak Belitung mengikuti try out lima bidang studi di Bandung.

Andrea juga mengadakan pelatihan penulisan untuk siswa SMA di Tanjung Pandan. April nanti, ia siap membuat kelas intensif persiapan ujian masuk perguruan tinggi negeri untuk siswa SMA di rumah ibunya. "Guru-gurunya didatangkan dari Jawa," katanya.

Andrea ingin meniru beasiswa yang ia dapat dari Uni Eropa. "Tidak mengikat, tapi ada moral responsibility. Kalau lulus, cobalah memintarkan orang lain," ujarnya. Sebagai wujud tanggung jawab moralnya, ia juga menulis buku ilmiah tentang ekonomi telekomunikasi.

Sebelum Sang Pemimpi terbit, Andrea sempat berniat untuk pensiun muda, menjauhi dunia layaknya brahmacari, dan mengabdikan sisa hidupnya untuk pendidikan. Tapi agaknya ia tak akan cepat-cepat mewujudkannya. "Saya menikmati situasi ini, menjadi karyawan dan seniman. Kalau nggak, bisa bosan," kata instruktur di PT Telkom itu.

Apalagi, kantor tempatnya bekerja menjadi sponsor film Laskar Pelangi, yang mulai syuting Maret nanti. Produsernya adalah Miles Production, milik Mira Lesmana, dan Mizan Sinema. Proyek yang disutradarai Riri Reza itu sedang menyaring artis lokal sebagai bintang.

Bagi Andrea, sukses Laskar Pelangi memperlihatkan bahwa wajah industri buku Indonesia tidak menunjukkan apresiasi pembacanya. "Masuknya Edensor sebagai finalis Khatulistiwa Literary Award membuktikan, kita bisa membuat buku bermutu dan laku," katanya.

Ia juga mengkritik sastrawan yang suka merendahkan diri. "Dibayar murah mau," tuturnya. Padahal, para motivator memasang tarif mahal setiap kali angkat bicara. Akibatnya, sastra tidak punya posisi tawar dan menjadi anak tiri di Indonesia. Karena itu, kini Andrea tak segan memasang tarif Rp 25 juta per jam. "Sastra itu penting!" katanya.

Apakah ketenaran membuat Andrea berubah? "Tidak," ujarnya. Setiap pagi, ia masih naik angkutan kota dari rumah kontrakannya di Taman Sari, Bandung, menuju kantornya, PT Telkom. Andrea juga masih sering dibikin pusing setiap kartu ponsel prabayarnya kehabisan pulsa.

Rita Triana Budiarti

No comments: