Tuesday, January 20, 2009

Dusta di Tengah Gelimpangan Mayat

Resonansi oleh Ahmad Syafii Maarif

Ketika pesawat Israel memborbardir sekolah milik PBB beberapa hari yang lalu dan membunuh puluhan manusia,sebuah dusta besar berulang kali disiarkan : sekolah itu tempat persembunyian pejuang Hamas.Yang benar adalah tak seorang pun pejuang itu berada disana.Hampir semua media barat menelan begitu saja dusta zionis ini dan menyiarkannya ke seluruh penjuru dunia.Tetapi, untunglah ada stasiun televisi Al-Jazeera yang membongkar dusta zionis ini sehingga kejahatan perang Israel cepat diketahui umat manusia di berbagai negara.Akibatnya, Israel semakin terpojok.Tetapi,kebrutalan tetap saja dilangsungkannya.Istilah kejahatan perang sepertinya rasanya sudah tidak memadai lagi untuk menggambarkan genosida yang diamukkan zionis atas rakyat Palestina.Harus ditambah dengan: kejahatan perang yang dilakukan oleh makhluk serupa manusia, tetapi bukan manusia.

Yang juga tidak kurang ironisnya untuk dicatat adalah rezim Bush dan sebagian besar anggota senat Amerika mendukung kejahatan perang Israel ini.Para pendukung ini,dalam perspektif kita,secara sadar telah memasukkan dirinya dalam kategori "makhluk serupa manusia" itu.Satu-satunya anggota senat yang bersuara lantang menentang kejahatan itu adalah Dennish Kucinich.Kita kutip, "Hari ini,pajak dolar Amerika,jet-jet Amerika,dan helikopter Amerika yang diberikan kepada Israel telah menyebabkan berlakunya pembantaian di Gaza.Pemerintah [Bush] memungkinkan Israel menekan terus untuk melakukan penyerangan terhadap penduduk sipil yang tak berdaya,memblokade upaya-upaya bagi gencatan senjata di PBB,dan menampik agar Israel tunduk terhadap persyaratan bahwa pengiriman persenjataan tidak akan digunakan untuk tujuan agresi.Israel akan menerima 30 miliar dolar AS dalam tempo periode 10 tahun bagi bantuan militer,tanpa harus mematuhi prinsip-prinsip kemanusiaan apa pun,hukum internasional,atau standar dasar tentang kesopanan manusia.Bangkitlah Amerika."
Di tangan makhluk serupa manusia,apa yang disebut human decency (kesopanan manusia) tidak mungkin bertemu dalam kamus mereka.Jika Anda ingin mencari ungkapan itu,hanyalah berlaku bagi manusia yang punya hati nurani.Oleh sebab itu,seruan Kuncinich untuk bangkit ditujukan kepada rakyat Amerika yang masih manusia,bukan yang serupa manusia.
Pemimpin penjahat perang Israel:Ehud Olmert,Ehud Barak,Tzipi Livni,dan gangnya telah menjadikan rakyat Palestina di Jalur Gaza sebagai taruhan untuk masing-masing memenangkan pemilu Israel pada Februari 2009 ini.Maka,tidaklah salah bila Uri Avnery dalam The Palestine Chronicle ,awal Januari 2009,menyebut perang ini sebagai Israel's New Election War.Anda bisa bayangkan tingkat kejahatan perang ini.Demi untuk saling berebut kursi di knesset Israel,rakyat Palestina yang tidak berdosa dan tanpa pertahanan dimusnahkan begitu saja.Pemusnahan ini dengan dalih karena kiriman roket Hamas ke kawasan selatan Israel dan Hamas dituduh tidak setia terhadap gencatan senjata.Semuanya ini adalah dusta dan palsu belaka karena gencatan yang riil tidak pernah berlaku.
Bagaimana Hamas tidak akan bereaksi, Avnery menulis:Dalam kenyataanya,gencatan senjata tidaklah lumpuh karena sejak awal gencatan senjata riil tidak pernah ada.Tuntutan pokok bagi gencatan senjata di jalur Gaza mestilah dengan membuka lintas batas.Tidak mungkin ada kehidupan di Gaza tanpa mengalirnya suplai yang tetap.Perbatasan itu tidak dibuka,kecuali untuk beberapa jam yang tak menentu.Blokade darat,laut,dan udara terhadap satu setengah juta umat manusia adalah tindakan perang,seperti halnya menjatuhkan bom atau meluncurkan roket.Semuanya ini melumpuhkan kehidupan di jalur gaza:menghabisi sebagian besar sumber-sumber pekerjaan,mendorong sejumlah ratusan ribu manusia ke pinggir maut karena kelaparan,menghentikan sebagian besar rumah sakit untuk berfungsi,serta merusak suplai listrik dan air.Mereka yang mengambil keputusan untuk menutup lintas batas -dengan dalih apa pun- tahu bahwa gencatan senjata yang sebenarnya dengan kondisi seperti itu tidak pernah ada.
saya sengaja mengutip pendapat pejuang Yahudi ini untuk menunjukkan bahwa membiarkan zionisme merajalela adalah harakiri bagi peradaban.Zionisme=dusta sejarah yang harus disetop untuk selama-lamanya.tanda-tanda ke arah itu sudah semakin nyata walau ditengah gelimpangan mayat yang masih bergelimpangan."Adyh,ya Allah,dengarkan jeritan ini!".

Read More......

Wednesday, January 07, 2009

Pragmatisme PKS

Mau ke mana Partai Keadilan Sejahtera (PKS)? Pertanyaan ini muncul di benak banyak orang, akhir-akhir ini. Menjelang Pemilu 2009, partai dakwah yang satu ini banyak memancing perhatian khalayak dengan manuver-manuver politik tak terduga. Serial iklannya yang mengangkat sejumlah tokoh sejarah menuai kritik.

Iklan PKS yang menampilkan KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari mendapat tanggapan dari kalangan di Muhammadiyah dan NU. Pendukung dua ormas besar itu menuding PKS mengincar warga mereka. Padahal, pandangan keagamaan PKS tidak sejalan dengan ajaran dua tokoh tersebut.

Terlebih lagi ketika sebuah sekuel iklan PKS menampilkan mantan Presiden Soeharto. Kritik pedas berdatangan silih berganti. PKS dituding berbalik langkah, dari partai yang reformis menjadi parpol yang pragmatis. Menghalalkan segala cara untuk menarik massa.

Reaksi keras itu tidak sulit dipahami. Ingatan orang belum kering, bagaimana reformasi merupakan gerakan bersama untuk menolak politik otoritarian Orde Baru. Ketika itu, PKS termasuk yang paling lantang berteriak reformasi. Tapi kini, baru 10 tahun berlalu, PKS seolah melupakan semangat itu demi meraup kekuasaan.

Sebenarnya pragmatisme PKS bukan fenomena baru. Kemauan dan kemampuan mengambil langkah politik taktis terlihat sejak Pemilu 2004. Ilmuwan politik membagi perilaku partai politik ke dalam tiga kategori: perilaku dalam organisasi, perilaku dalam pemilu, dan perilaku dalam pemerintahan. Dalam ketiga ranah ini, perlahan tapi pasti PKS makin taktis, rasional, pragmatis.

Dalam organisasi, contohnya, parpol yang banyak diawaki mantan aktivis masjid kampus ini terkena apa yang oleh Robert Michels --murid Max Weber yang kemudian menjadi penasihat politik Benitto Mussolini-- disebut sebagai "hukum besi oligarki". Menurut Michels, pada masa-masa awal kelahirannya, kendali partai politik berada di tangan anggotanya (demokratis). Namun, seiring dengan perjalanan waktu, kepemimpinan akan beralih ke tangan segelintir pimpinan (oligarki) karena tuntutan efektivitas organisasi.

Ini dialami PKS. Pada awal sejarah partai ini --ketika itu bernama Partai Keadilan (PK)-- anggaran dasar partai menyebutkan, lembaga pengambil keputusan tertinggi adalah musyawarah nasional. Artinya, setiap keputusan penting selalu dirembuk dan dibicarakan bersama oleh anggota partai.

Perkembangan berikutnya, setelah berubah menjadi PKS, anggaran dasar partai menyatakan, lembaga pengambil keputusan tertinggi adalah Majelis Syuro. Keputusan tertinggi cukup di tangan sekelompok pimpinan.

Demikian pula dalam perilaku pemilu, PKS mengalami perubahan drastis dari idealis menjadi taktis dan pragmatis. Menjelang Pemilu 1999, misalnya, Dewan Syariah PK --lembaga yang bertugas membuat putusan agama untuk anggota dan simpatisan partai-- mengeluarkan seruan kepada kader dan pendukung PK untuk tidak terjebak dalam kesibukan mencari pemilih.

Sebab, menurut Dewan Syariah, partai ini didirikan bukan untuk mengejar kekuasaan, melainkan untuk menebar dakwah. Alhasil, Dewan Syariah menyerukan kepada segenap kader dan pendukung untuk lebih banyak meningkatkan ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah. Sebab Tuhan Mahakuasa dan bisa membuat sebuah partai menang atau kalah. Dan terbukti, PK gagal!

Menjelang Pemilu 2004, sikap dan perilaku PKS berbalik nyaris 180 derajat. Pada periode ini, PKS meyakini, keberhasilan partai dalam pemilu adalah kecerdasan menyusun strategi dan kegigihan menjalankan kampanye. PKS pun melatih kader-kadernya dengan berbagai keterampilan profesional dalam persuasi dan propaganda politik.

Mereka menyewa konsultan profesional untuk melatih kader partai berhubungan dengan media dan membuat berita. Yang lebih menarik, Dewan Syariah PKS kemudian mengeluarkan seruan bahwa yang terpenting dilakukan para kader adalah mengajak orang mencoblos PKS. Soal dakwah bisa dilakukan setelah itu.

Perkembangan yang makin pragmatis juga terjadi dalam perilaku PKS di pemerintahan (legislatif dan eksekutif). Pada zaman PK, meski gagal melampaui electoral treshold 2% dan tidak bisa mengikuti pemilu berikutnya, PK berhasil mengirim tujuh wakilnya di DPR. PK juga sempat mendapat jatah satu kursi di kabinet Presiden Abdurrahman Wahid.

Pada periode ini, perilaku kader-kader partai di pemerintahan lebih mencerminkan gagasan ideal sebuah partai politik yang ingin melakukan perubahan besar. Menteri Kehutanan Nurmahmudi Ismail begitu gencar memburu koruptor kakap, yang membuatnya harus berbenturan dengan presiden dan terdepak dari kabinet. Ketika itu, PK juga hanya bersedia berkoalisi dengan partai Islam. Terbukti, partai ini menolak tawaran posisi menteri dalam kabinet Megawati, setelah Gus Dur dimakzulkan MPR.

Namun kiprah kader partai dakwah berubah banyak ketika berganti menjadi PKS. Menjelang pemilihan presiden 2004, PKS tidak bulat mendukung Amien Rais yang notabene representasi politisi muslim yang sejalan dengan identitas politik PKS. Sebagian pimpinan PKS lebih memilih Wiranto karena alasan pragmatis politik bahwa yang terakhir ini lebih punya kans memenangkan kompetisi. Di arena pemilihan kepala daerah, PKS tidak canggung lagi berkoalisi dengan parpol yang tidak berbanderol Islam. Bahkan ia menjalin koalisi dengan partai Kristen, PDS.

***

Mau ke mana sebenarnya PKS? Kalau melihat perubahan dari idealis menjadi pragmatis tadi, apakah PKS akan berubah menjadi seperti partai politik yang lain? Bukan lagi partai dakwah yang bercita-cita membangun masyarakat Islam dan memperjuangkan Islam dalam ranah politik?

Sebenarnya tidak juga. Kalau kita cermati lebih dekat, akan terlihat bahwa meskipun partai ini berubah cukup drastis --dari idealis di zaman PK menjadi pragmatis di zaman PKS-- ia tidak pernah mengubah rumusan ideologinya. Ia tetap partai Islamis yang evolutif ala Ikhwanul Muslimin, yang bercita-cita memperjuangkan terbentuknya masyarakat Islami melalui pembentukan jaringan kader untuk menumbuhkan individu-individu Islami.

Individu-individu ini nantinya membangun unit-unit keluarga Islami, yang akan melahirkan dan mendidik generasi Islami. Ketika sudah terbentuk generasi Islami, akan terbentuk masyarakat Islami. Jika sampai di sini, tuntutan akan sistem politik dan kebijakan yang Islami hanya menunggu waktu.

Lalu, apa yang membuat partai yang memiliki reputasi bersih ini seolah berubah pikiran menjadi pragmatis? Di satu sisi, ada sebagian komentator mengungkapkan bahwa pragmatisme PKS tidak lebih dari sekadar kamuflase untuk menutupi agenda mereka yang sebenarnya. Mereka ingin terlihat moderat untuk mendapatkan dukungan massa sebanyak-banyaknya.

Setelah mereka memenangkan kekuasaan, menurut pendapat ini, PKS baru akan menunjukkan wajah aslinya yang Islamis. Di sisi lain, ada pula yang berpendapat bahwa politisi PKS sebenarnya tidak beda dari politisi pada umumnya, yang berorientasi kekuasaan. Menurut pandangan ini, pimpinan PKS baru menyadari bahwa politik memang harus pragmatis.

Tapi, dalam tilikan yang lebih teoretis, kedua pendapat itu tidak sepenuhnya benar. Pragmatisme PKS bukanlah karena ingin menutupi hidden agenda politik Islamis dan bukan semata pragmatisme yang banal. Melainkan lebih karena produk aturan main politik demokrasi yang dibangun dan diinstitusionalisasikan di negeri ini selama 10 tahun terakhir.

Harus diingat bahwa partai-partai politik tidak bermain di ruang kosong, melainkan dalam sebuah bingkai bernama institusi demokrasi. Menurut sejarawan ekonomi Amerika dan pemenang Hadiah Nobel Ekonomi 1990, Douglas C. North, institusi adalah tatanan untuk mengatur perilaku manusia. Institusi memiliki dua fungsi pokok.

Pertama, institusi menyediakan aturan berperilaku. Dalam bingkai institusi (dalam hal ini demokrasi), perilaku partai politik menjadi teratur dan mudah diprediksi. Institusi yang stabil, dengan demikian, memotivasi aktor politik untuk berperilaku rasional dan terprogram. Kedua, institusi berfungsi menfasilitasi distribusi kepentingan secara lebih adil. Artinya, dalam institusi yang stabil, aktor politik akan terdorong untuk saling bekerja sama.

Lebih lanjut, North membagi institusi ke dalam dua jenis, yaitu institusi formal dan informal. Yang pertama merujuk pada aturan main yang terkodifikasi, misalnya konstitusi, hukum, hingga kontrak. Sedangkan yang kedua merujuk pada sistem yang mengatur perilaku tapi tidak terkodofikasi. Contohnya budaya, agama, dan ideologi.

Dalam analisis North, baik yang formal maupun informal, institusi memiliki fungsi sama. Keduanya memiliki hubungan saling melengkapi. Institusi formal membantu institusi informal supaya lebih efektif. Misalnya, undang-undang biasanya merupakan formalisasi nilai budaya dan agama di masyarakat. Sebaliknya, institusi informal membantu mencari jalan bila institusi formal tidak berfungsi dengan baik.

Teori North ini cukup akurat untuk menjelaskan pragmatisme PKS. Pragmatisme itu bukan upaya menutupi agenda tersembunyi dan bukan pula karena PKS tidak lagi peduli pada ideologi partai dakwah. Pragmatisme lebih merupakan buah institusionalisasi sistem demokrasi. Sebab sebenarnya perilaku partai politik tidaklah hanya didorong oleh ideologi, melainkan juga dipengaruhi aturan main, yaitu sistem demokrasi.

Seperti kata North, ideologi sebagai institusi informal dan demokrasi sebagai institusi formal selalu berbanding terbalik. Ketika masih bernama PK, institusi formal (sistem demokrasi) yang ada pada waktu itu belum stabil. Karena itu, PK cenderung berperilaku ideologis. Namun, ketika sistem demokrasi makin berjalan baik dan aturan main politik makin stabil --dengan berbagai amandemen UUD serta penyempurnaan UU Pemilu dan Pemilihan Presiden, UU tentang Fungsi dan Kedudukan DPR, UU Partai Politik, dan lain-lain-- partai dakwah yang kemudian bernama PKS pun cenderung berperilaku mengikuti institusi formal: rasional, taktis, pragmatis.

Jadi, mau ke mana PKS? Kalau pertanyaan ini masih juga muncul, jawabannya ada pada sejauh mana stabilitas sistem demokrasi kita. Jika demokrasi dan demokratisasi tetap stabil sebagai aturan main politik, bisa dipastikan, PKS akan tetap pragmatis. Namun, sebaliknya, jika demokrasi mulai goyah dan tidak lagi menjadi aturan main utama, maka mudah diramalkan bahwa perilaku politik ideologis akan kembali bermunculan. Mungkin bukan hanya dari PKS.

Ahmad-Norma Permata
Doktor lulusan Institut fuer Politikwissenschaft, Muesnter Universitaet, Jerman (2008). Menulis disertasi tentang PKS
[Kolom, Gatra Nomor 8 Beredar Kamis, 1 Januari 2009]

Read More......