Sunday, November 26, 2006

Hijaunya dedaunan jadi inspirasi Meiling

Hijaunya dedaunan jadi inspirasi Meiling

bisnis.com - Taman hijau dengan rimbunnya dedaunan telah mengusik perasaan Meiling untuk mengungkapkannya dalam rancangan busana. Yang muncul kemudian adalah serangkaian gaun yang menggambarkan keindahan susunan dedaunan yang ditumpuk, atau bertebaran dalam motif kain.
Perempuan kelahiran Bagansiapiapi, Sumatra Utara, 5 Mei 1970, ini membuat beragam desain yang menyatu satu sama lainnya. Dalam pergelarannya di Bali Fashion Week 2002 di Kuta, Bali, beberapa waktu lalu, aneka rancangan dengan motif daun itu ditampilkannya dalam tema Green garden.

Memakai satu warna dasar off white, Meiling yang memakai label JM Fashion (singkatan dari nama suaminya Joni dan Meiling) ini, bermain dengan desain dan penataan daun yang juga dibuat dari kain berwarna hijau segar.

Bahan yang dipakainya a.l. sifon twinkle, sifon polos, sifon motif kombinasi dengan shantung, thaisilk dan satin. Sedangkan motif yang dipilihnya adalah daun kecil-kecil yang bertebaran yang dibuat dengan proses celup batik.

Rancangannya yang ditampilkannya bergaris modern dan sedang digandrungi pecinta mode sekarang ini. Ada rok selutut dengan potongan asimetris yang dipadu dengan blus tanpa lengan. Sementara lengannya dipasangi rumbai-rumbai dari kain yang sama.

Atau bustier pendek yang dipermanis dua helai daun lebar dipadankan dengan rok asimetris. Ada lagi bustier yang dipadankan dengan rok model overslaag. Dia juga merancang gaun terusan dengan model leher dikaitkan di belakang sehingga punggung pemakainya terbuka. Belahan samping yang tinggi dipermanis dengan payet model daun-daun.

Untuk rancangan masterpiece, Mailing menampilkan bustier dengan rok panjang yang terbuat dari tumpukan daun-daun lebar, yang cukup memukau pengunjung yang menyaksikan show tersebut.

Berawal dari konfeksi

Meiling termasuk pendatang baru dalam dunia rancang merancang. Bermula dari sebuah usaha home industry tahun 1998, perempuan muda ini membuat sendiri rancangan busana dengan dibantu seorang penjahit.

Setahun kemudian, dia membuka butik di Cilacap Jawa Tengah yang sekaligus menjadi kantor pusat JM Fashion. Ketika Bali Fashion Week pertama tahun 2000 diadakan, Meiling diundang untuk mengikutinya.

"Saya ingin menjajaki pasar Bali, karena itu mau ikut pameran pada acara besar tersebut. Ternyata stand kami cukup banyak pengunjung, sampai kami mendapat kesempatan dua kali untuk tampil show," ujarnya.

Menurut dia, tanggapan masyarakat Bali cukup antusias terhadap produk busananya, dan tahun itu juga dia membuka butik di Kuta Bali, dan tahun ini buka lagi di Denpasar. Butiknya juga ada di Mayestik, Jakarta, serta di Keris Gallery.

Meiling menuturkan bahwa dia tidak menyangka kalau perusahaannya akan berkembang pesat seperti ini. Malah dalam waktu dekat dia akan ekspor ke Malaysia, Brunai Darussalam dan Singapura.

Padahal dia hanya belajar menjahit secara otodidak melalui buku fashion dari luar negeri. "Saya hanya ikut kursus menjahit sebentar, lalu langsung praktik dan mengikuti perkembangan mode," ujar desainer yang menetap di Cilacap ini anak keempat dari enam bersaudara.

Kini perusahannya selain membuat busana pesta seperti kebaya dan gaun-gaun dengan aksen bordir untuk butiknya, dia juga menjual bahan tekstil dan melayani konfeksi dalam partai besar. Sekarang jumlah karyawannya sekitar 200 orang dengan 120 mesin. Sementara kapasitas produksinya 150-250 set sehari. (yr)
Sumber: Bisnis Indonesia

Read More......

Menghadapi Kesedihan Dengan Kreatifitas

Imas Syamsul Mappareppa
Menghadapi Kesedihan Dengan Kreatifitas



Tak mudah terpengaruh pada hal-hal yang melemahkan semangat berkreatifitas dan berusaha sebagai kunci sukses usaha Kedukaan mengawali kiprah Imas Syamsul Mappareppa sebagai desainer busana Muslim. Kematian putra ketiganya, Riza, akibat leukimia pada 1996 mendorongnya untuk berhaji (1997).

Sepulangnya dari tanah suci ia bertekad berbusana Muslim kendati saat itu komunitas sosialnya sebagai pendamping tentara yang harus aktif dalam perkumpulan istri TNI-AD tak memungkinkannya. ''Kalau sekarang kan sudah reformasi, banyak juga kok ibu-ibu lain yang berbusana Muslim juga,'' memaparkan kondisi komunitasnya sekarang. Mengisi hari-hari sedih setelah kepulangan Riza, Imas sering terjaga hingga larut malam. ''Saya sering tidak bisa tidur atau terbangun malam-malam. Suatu malam saya lantas mencoba mencoret-coret kertas untuk merancang busana Muslim buat diri saya sendiri,'' papar ibu empat anak ini.

Awal kali berbusana Muslim setelah berhaji pada 1997, wanita bernama lengkap Imas Usmaningsih ini memang agak kesulitan mendapatkan busana Muslim yang sesuai dengan keinginnanya. Selama mengenakan busana rancangan sendiri itu, ternyata ada yang mengamatinya. ''Seorang ibu mengatakan baju-baju saya itu bagus dan mempertanyakan kenapa saya tak bikin peragaan busana,'' kenang Imas. Walau awalnya tak mempercayai ucapan itu, ia lantas mulai berpikir untuk membuat busana dengan orientasi orang lain. ''Kalau ada yang mau saya jual, enggak laku, ya, saya pakai sendiri,'' katanya.

Akhirnya, pada 6 Oktober 1999, atau sekitar setahun setelah ia belajar menjahit, untuk pertama kalinya Imas menggelar peragaan tunggal di Hotel Hilton Jakarta dengan memamerkan 40 potong baju. Respon hangat atas peragaan busananya itu membuat Imas bertambah yakin bahwa rancangannya bisa diterima banyak orang. ''Saya kaget sendiri, ternyata ini karunia dari Allah yang saya minta walau tantangannya banyak dan besar sekali,'' tuturnya. Ia mengakui, menjadi desainer busana Muslim tak pernah terbersit dalam benaknya sebelumnya.

''Kalau saya tak lanjutkan karunia ini berarti saya tak bersyukur,'' imbuh istri Kepala Staf Komando Strategi Angkatan Darat ini. Setelah beberapa kali menggelar peragaan dan karyanya disukai orang, keyakinan diri Imas atas hasil rancangannya tersebut membulat. Terutama setelah dukungan datang dari suaminya. ''Suami saya malah sering ikut menemaninya menggambar, membantu jika ada peragaan dan pameran busana,'' katanya. Niat Imas yang lain dengan merancang busana Muslim ini, ungkapnya, untuk mengajak wanita Muslim menutup aurat.

''Dakwah kan tak harus ceramah. Mau laku atau enggak, saya bikin saja terus. Saya ingin orang Muslim bangga dengan busananya,'' tandasnya. Showroom pertama lantas dibukanya di garasi rumahnya di Bandung. Imas menyatakan memiliki obsesi soal rancangan busana muslimnya. ''Saya ingin menampilkan karakter busana muslim yang tak lari dari bentuk etnik bangsa kita,'' katanya. Kesempatan ikut mendampingi suami tugas ke pelosok tanah air selalu dimanfaatkannya untuk mendapatkan bahan-bahan rancangan bajunya. ''Biasanya saya membeli bahan dengan ciri khas kota yang saya datangi,'' ujar perancang dengan ciri khas hand painting ini.

Maka, terciptalah desain busana muslim dari bahan sutra, tenun, limbah sutra, serat alam, bahkan kulit kayu yang didapatnya dari Pekalongan, Bengkulu, Palembang, Sulawesi, dan daerah lainnya. Awal membuka butik Imas hanya mempunyai empat orang karyawan, meliputi seorang tukang jahit, tukang potong dan dua orang pembantu. Sekarang, ia mempunyai enam belas karyawan, yaitu lima orang tukang jahit, satu orang tukang potong pola, satu orang finishing, empat orang SPG, tiga orang administrasi dan dua orang sopir.

Butik Imas pun sudah semakin lengkap, tidak hanya menjual busana muslim saja tetapi ia juga menjual beragam perlengkapan busana dan aksesorinya. Omset usahanya mencapai Rp 30 juta per bulan dan mengembangkan usaha dengan membuka butik kedua di Jakarta sejak tahun lalu. ''Saya hanya terus berusaha saja kalau saya pikir itu benar dan baik. Saya berusaha juga tak mudah terpengaruh hal-hal yang bisa melemahkan semangat berusaha saya,'' Imas mengungkapkan kunci usahanya.
(mg02 )

Read More......

Menjalani Hobi tanpa Menghamburkan Uang

Menjalani Hobi tanpa Menghamburkan Uang

DAHULU, hobi Asri Ipindhari (51) menghamburkan uang. Rumahnya padat oleh benda-benda kristal dan mebel berukir. "Lama-lama saya kasihan juga sama suami, walaupun sebenarnya dia membolehkan saya mengoleksi benda-benda tersebut. Lalu saya bertekad melakukan hobi yang menghasilkan uang," cerita Asri. Tekadnya tak main-main. Baru delapan bulan belajar sulam pita, di bawah bendera Asri Art Collection ia sudah mampu ikut pameran berskala nasional di Arena Pameran Kerajinan (Ina Craft), Jakarta, 19-23 April lalu.

DITEMUI di stan pameran tersebut, Asri tengah sibuk melayani pengunjung yang berjubel di stannya. Sulam pita buatan Asri memang menarik. Ia pandai melakukan harmonisasi warna. Di tangannya, warna kuning bisa melebur pada warna ungu, tanpa menimbulkan kejanggalan. Selain keahlian padu padan warna, Asri menggunakan pita-pita berkualitas baik, yaitu pita-pita impor yang memiliki gradasi warna. Asri agak kapok memakai pita buatan lokal. "Luntur, terutama yang berwarna gelap," ucap Asri sambil menunjukkan sebuah karya sulam pitanya yang luntur. Namun kreativitasnya membuat produk gagal itu tetap bisa digunakan. Rencananya kain katun putih yang ternoda lunturan pita tersebut akan dilukis agar noda luntur tersebut tersamar.

Karya Asri tidak terbatas pada sulam pita sebagai hiasan busana. Ia menyulam pita pada berbagai media, sebagai hiasan dinding, dekorasi kipas, pinggiran cermin, kotak perhiasan dari anyaman mendong, sarung bantal, tempat tisu, hingga sepatu.

Memilih kerajinan sulam pita didasari kesukaan Asri semasa kecil. "Saya suka sekali pita. Bukan rambut saja yang dikasih pita, kucing hingga anjing pun selalu saya beri hiasan pita," kata perempuan penyuka binatang ini.

Bagi sebagian orang, menyulam pita bisa jadi merupakan pekerjaan yang rumit. Namun kerumintan itu justru jadi tantangan tersendiri bagi Asri. "Aslinya, saya suka yang ruwet-ruwet. Jadi seruwet apa pun ya saya kerjakan," kata Asri sambil tertawa.

Padahal urusan Asri juga sudah cukup "ruwet". Asri yang tinggal tak jauh dari kampus Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung sebenarnya tengah mengikuti program pasca sarjana di kampus tersebut. Ia mengambil ilmu kedokteran dasar (IKD) bidang studi mikrobiologi.

"Ah malu saya, itu tugas sekolah," katanya. Maksudnya, pihak Universitas Lampung (Unila) tempatnya bekerja sebagai dosen meminta Asri kuliah lagi. Menurut rencana Unila akan membuka program studi kedokteran. Asri sendiri bukan sarjana kedokteran, melainkan lulusan Jurusan Biologi Universitas Padjadjaran. "Ya, baca-baca buku terus bikin jenuh juga. Sulam pita bikin otak saya segar," ujar Asri.

**

DI Ina Craft, sebagian besar koleksi sulam pitanya nyaris habis terjual. Ia harus cepat-cepat menambah koleksinya.

"Ya, namanya baru delapan bulan, koleksi belum terlalu banyak. Apalagi pengerjaannya memakan waktu lama. Karena full handmade," katanya. Menyulam pita untuk sepasang busana Muslim bisa menghabiskan waktu satu minggu.

Kini, persedian menipis, pelanggan terus bertambah. Ya, meskipun masih terbilang baru terjun ke dunia bisnis, Asri sudah banyak memperoleh pelanggan. Padahal letak rumahnya di gang sempit yang berliku. Meski begitu, karyanya tetap dicari orang.

Untuk membantunya, Asri mendidik tiga karyawan yang ia jadikan juga anak asuh.

Selain sulam pita, Asri mengkursuskan ketiganya menjahit pakaian. Kelak mereka tidak hanya membuat sulam pita di atas kain yang belum jadi, atau menyediakan baju siap pakai. Ia juga bisa membuatkan sulam pita pada kain yang sudah dipotong, sehingga letak sulam bisa lebih tepat sesuai keinginan konsumen.

Setelah tiga bulan dalam didikan Asri, ketiganya sudah mahir. Selain mahir berkarya, tiga anak asuh Asri juga mahir bertutur laiknya sang ibu asuh. "Nah, ini sistem french knot, digabung dengan running, jadinya seperti ini. Agar mudahnya kami menyebutnya brondong, karena bentuknya seperti brondong jagung," kata Dian, salah seorang anak asuh Asri sambil mencontohkan salah satu sistem penemuan Asri.

Selain mengandalkan cara yang sudah ditemukan orang pendahulu sulam pita, Asri bereksperimen untuk menemukan cara dan jenis sulam pita yang baru. Temuan Asri dinamakan running karena sulam dibuat dengan cara menjelujur pinggiran atau tengah pita lalu menariknya hingga berbentuk gumpalan. Dengan sistem brondong ini, sulam pita Asri tidak terbatas pada jenis bunga-bungaan. Ia bisa membentuk hewan seperti kambing dan kupu-kupu.

Asri sendiri mendapat kepandaian sulam pita dari kursus-kursus. "Tapi kok saya merasa makin lama makin bloon. Lalu saya lihat buku-buku dan mengembangkannya sendiri," katanya.

Ketekunan Asri patut memperoleh acungan jempol. Pada saat masih tahap belajar, ia sudah berani menerima pesanan baju sulam pita untuk seragam acara pernikahan. "Yang pesan ada 15 orang. Saya kerjakan selama tiga bulan," ujarnya. Order besar pertamanya itu membuat sulam pita Asri kian dicari orang. Banyak tamu pesta yang bertanya di mana dapat diperoleh busana bersulam pita nan cantik itu.

Ketertarikan orang akan sulam pita karya Asri juga terlihat di arena pameran. Saat itu, mereka selain memborong hasil karya Asri banyak juga yang mengutarakan keinginan untuk belajar sulam pita. Bukan saja orang Indonesia, juga pengunjung dari luar negeri tertarik untuk belajar sulam pita.

"Karena banyaknya permintaan itu, sekarang saya mulai membuka kursus sulam pita," ucap Asri. Asri menjamin, siapa pun orangnya pasti bisa membuat sulam pita yang indah. "Ketiga anak asuh saya itu misalnya, mereka dari nol besar. Bahkan ada yang sama sekali belum pernah memegang jarum, tapi sekarang bisa. Jika belum bisa berkreasi sendiri, pada awalnya bisa mencontoh yang ada di buku atau gambar sulam pita," kata Asri menyemangati kaum perempuan.

**

KEINGINAN Asri memiliki hobi yang menghasilkan uang sudah terwujud. Karya-karyanya sudah laku dijual. Bahkan, di Ina Craft, kotak-kotak pernik dan kipas dari mendong yang dihiasi sulam pita laku keras. Untuk barang yang cantik itu, Asri mematok harga yang relatif murah. Begitu juga kain linen yang diberi sulam pita, konsumen dapat memilikinya dengan mengeluarkan dua lembar uang ratusan ribu, bahkan kurang.

"Yang agak mahal, sulam pita untuk busana Muslim atas bawah yang berbahan dasar kain sutra. Saya masih menggunakan sutra dari Italia dan Jepang. Sebab menyulam kain sutra buatan luar enak, tidak mudah koyak," kata Asri.

Dengan produk yang ditujukan bagi kalangan menengah ke atas ini, Asri bisa meraup untung agak lumayan. Terbukti harga sewa stan pameran selama seminggu, yang dipakai secara berkongsi dengan seorang temannya, seharga Rp 13 juta bisa tertutupi dari keuntungan penjualan.

**

WALAUPUN kelak kuliahnya sudah selesai, Asri tetap ingin mempertahankan karyanya di pasar Kota Bandung. Namun ia juga berencana membuka cabang juga di Lampung. Kini, ia sedang melirik sebuah pusat perbelanjaan di Jalan Pasteur Bandung agar karyanya lebih mudah terjangkau pelanggan.

Ia tidak akan meninggalkan Bandung. Baginya, Bandung adalah kota inspiratif. Saat tinggal di Bandunglah ia bisa menelurkan ide-ide kreatif. "Kalau di Lampung, karena udaranya panas rasanya saya 'kemerungsung' (gelisah). Di Bandung, lagi tiduran eh ada ide, saya bangun. Lalu mendesain untuk kelak dijahit dalam bentuk sulam pita," tutur Asri.

Lagi pula Bandung adalah rumah keduanya. Putri satu-satunya Sheilla Petrina(23) sedang menuntut ilmu di Unpad. Tiga anak lainnya adalah laki-laki M. Fuad Rinaldy (24), M.Fahmi Andhika (20), dan Givano Wendarta(8)

"Saya beruntung memiliki suami yang memanjakan saya," ujar perempuan yang suka berdandan ini tentang sang suami tercinta, Jonizar Zakaria. "Tapi saya tidak terlena, pulang dari Bandung saya akan membuktikan pada suami bahwa saya juga bisa punya hobi yang menghasilkan uang ha..ha..ha... Saya akan membuka butik di sana," katanya. (EYP/"PR"/Uci)***

Read More......

"NGIRI" PADA INEKE & CHECHE KIRANI

Natalie Sarah
"NGIRI" PADA INEKE & CHECHE KIRANI

Sukacita. Demikianlah si cantik Natalie Sarah menyambut datangnya bulan Ramadan. Sahur, puasa, berbuka, salat lima waktu plus Tarawih, semua dilakukan Sarah dengan penuh semangat. Ya, pemeran Memey di sinetron Kawin Gantung ini memang bertekad untuk menjadikan puasanya kali ini penuh makna dan ibadah.
KLIK - Detail
Ya, Ramadan kali ini memang baru Ramadan kelima bagi Sarah. Meski begitu, ada yang unik pada diri gadis batak yang baru jadi mualaf sejak pertengahan 2001 lalu ini. Belakangan ia terlihat selalu tampil tertutup, berbusana muslim lengkap dengan penutup kepala. Ada apa gerangan? "Alhamdulillah, untuk Ramadan ini, aku sudah berniat akan selalu memakai jilbab. Sebenarnya, dua minggu sebelumnya pun, aku sudah pakai jilbab tiap hari," ujar Sarah berseri-seri.

Lalu, bagaimana dengan sesudah Lebaran? "Setelah Lebaran, apa aku akan terus pakai jilbab? Jujur saja, keinginan ke arah sana sudah ada. Tapi sepertinya untuk saat ini belum
bisa terealisasi karena masih terikat kontrak dengan sebuah rumah produksi."

Sarah sadar, untuk keperluan syuting dirinya belum bisa full memakai jilbab. "Karena ketika aku menandatangani kontrak dulu, aku, kan, tidak mencantumkan hal tersebut," ujar gadis yang kini enggak mau lagi pakai baju yang hanya satu tali.

Nanti, ujar Sarah, jika dirinya memang sudah benar-benar mantap untuk seterusnya berjilbab, "Aku tetap akan berdiskusi dulu dengan rumah produksi yang mengontrakku secara eksklusif. Kalau memang mereka setuju, alhamdulillah. Tapi kalau pun tidak, tetap bisa dicari jalan keluarnya. Misalnya menyelesaikan dulu sisa kontrak, baru sesudahnya memakai jilbab," ujar Sarah yang mengaku amat terkesan melihat para seniornya yang sudah lebih dahulu memakai busana muslim.

"Seperti Mbak Ineke Koesherawati, Astri Ivo, dan Cheche Kirani. Masya Allah, mereka itu tambah cantik setelah pakai jilbab." Seperti para seniornya itu pula, Sarah yakin bahwa memakai busana muslim tak akan menghalangi langkahnya di dunia hiburan. "Job jadi berkurang? Mungkin saja. Tapi tidak perlu khawatir, karena jodoh, rezeki ataupun maut itu kan, di tangan Tuhan," ujarnya bijak.

Meski begitu, diam-diam Sarah sudah menyiapkan lahan baru untuk dirinya kelak, andai tak lagi berkarier di sinetron. "Bukan karena khawatir. Ini hanya untuk antisipasi ke depan saja. Misalnya nanti aku enggak main sinetron lagi, aku sudah punya usaha lain," ujar Sarah yang ternyata sedang merintis usaha busana muslim. "Aku ingin buka butik sendiri," cerita Sarah yang mendesain sendiri semua busana yang dijualnya. "Enggak cuma mendesain, yang membuat pola dan motong kainnya juga aku. Tapi untuk menjahit, aku punya 2 pegawai."

Desain & Potong Sendiri
Yang unik dari busana muslim buatan Sarah, "Banyak yang ukuran kecil, S, XS, dan XXS. Ini berangkat dari pengalaman pribadiku, setiap kali mau beli baju muslim, pasti kedodoran.
Susah sekali mencari yang cocok dengan badanku. Rata-rata baju muslim memang didesain berukuran besar," ujar gadis berperawakan mungil ini.

KLIK - Detail Sebenarnya, busana muslim karya Sarah sudah cukup banyak. "Kalau dikumpulin dari awal, sudah cukup banget untuk buka butik. Tapi, setiap kali habis bikin, seringnya langsung habis dibeli sama teman-teman pengajian," cerita Sarah yang tidak mau memproduksi massal setiap desainnya. "Jadi eksklusif."

Memang, dari kecil Sarah bercita-cita menjadi desainer. "Dari kecil aku sudah nyoba bikin baju barbie sendiri. Makanya waktu SMKK, aku ambil jurusan disain." Namun perjalanan hidup membawa Sarah menjadi seorang model, kemudian terjun ke dunia sinetron. "Tadinya enggak kepikir akan membuka butik atau semacamnya. Tapi, saat pulang umrah kemarin, aku tiba-tiba dapat semacam pencerahan. Dorongan untuk membuka butik busana muslim mendadak muncul."

Sejak itu, Sarah giat membuat berbagai desain. "Aku beli mesin jahit lagi. Sekarang di rumah sudah ada 4 mesin jahit. Aku juga turun langsung mencari bahan. Biasanya sih, aku hunting sendiri kain di pasar Mayestik," cerita Sarah yang semula malu-malu memasarkan produknya ini. "Biasanya aku bawa ke pengajian. Cukup ditunjukin ke satu orang, berikutnya sudah nyebar sendiri."

Baru sebulan, Sarah sudah menerima banyak pesanan. "Pernah aku dapat pesanan khusus yang pembuatannya rumit banget. Sukses, sih, tapi setelah itu aku kapok bikin yang model begitu lagi. Habis, susah dan lama banget bikinnya," ujar Sarah yang mengaku tak berani mematok harga tinggi untuk baju-baju produksinya. "Yang paling murah, satu stel atas-bawah 140 ribu rupiah. Yang paling mahal, 500 ribu rupiah, tapi itu cuma satu disain, kok. Rata-rata kebanyakan, sih, berharga 200-an ribu rupiah."

Prinsip Sarah, "Membuat busana muslim yang cantik dan modis, tapi harganya terjangkau." Tak jarang jika ada yang minta dibuatkan baju dan menanyakan harga, Sarah balik bertanya, "Kamu punya bujet berapa?" Untuk memenuhi selera pasar, Sarah tak mau menetapkan satu jenis desain saja. "Mulai dari yang bergaya etnik, serba formal, sampai yang casual dan ceria khas remaja, tersedia. Bahannya juga macam-macam, raw silk, thai silk, sutra, organdi, dan macam-macam lagi."

Seriuskah Sarah dengan bisnis barunya ini? "Insya Allah, aku serius banget. Malah cita-citaku suatu hari nanti butikku bisa sebesar Shafira. Punya berbagai koleksi eksklusif yang bisa bikin pemakainya semakin cantik." Saat ini, Sarah mengaku akan berkonsentrasi pada peningkatan produksi terlebih dahulu. "Tapi aku belum bisa melakukan promosi yang besar. Soalnya belum ada mereknya."

Rupanya Sarah kebingungan dalam memberi label pada produknya. "Aku belum dapat nama yang pas. Aku enggak mau terburu-buru. Kalau memang belum nemu yang cocok di hati, ya, enggak mau dipaksakan."

Read More......

Dari Selebriti sampai Presiden

PROFIL MINGGU INI
Dari Selebriti sampai Presiden

Aan Ibrahim ( Desainer )

Aan Ibrahim termasuk satu di antara 60 desainer yang akan tampil pada Fashion Tendance 2006 di Jakarta, 13--14 Desember mendatang. Para perancang ini tergabung Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia (APPMI).

SEBAGAI perancang, Aan dikenal sangat konsisten memasukkan motif-motif etnik Lampung seperti tapis, sulaman usus, batik sembagi, dan maduaro. Motif-motif yang menonjolkan seni karya adiluhung peninggalan nenek moyang Lampung ini memiliki kekuatan sendiri dalam guratan rancangannya. Sehingga desainer ini mampu menyejajarkan diri dengan perancang kondang seperti Ramli, Prajudi atau Adji Notonegoro.

Karyanya tidak hanya dipakai selebriti top seperti Maudy Koesnaedy, Iis Dahlia, Ike Nurjanah, dan sederet selebriti lain. Rancangan lelaki kelahiran Pagardewa ini juga pernah melekat di tubuh mantan Presiden Megawati Soekarnoputri, Guruh Soekarnoputra dan istrinya, Guseynova Sabina Padmavati. Siti Hardiyanti Rukmana atau akrab disapa Mbak Tutut, putri tertua mantan Presiden Soeharto, juga pernah mengenakan busana rancangan Aan. Pejabat tinggi di Lampung juga begitu, termasuk istri-istri menteri.

"Saya puas jika klien puas dengan rancangan saya. Apalagi kalau hasilnya pas buat mereka," kata Aan memaknai kebahagiaan sebagai seorang desainer.

Bagimana Aan merintis jejaknya di dunia mode? Apa saja yang dilakukan untuk tetap eksis sebagai desainer selama 16 tahun ini?

Berikut petikan wawancara Aan Ibrahim dengan wartawan Lampung Post Yunita Savitri®MDUL¯ di butiknya di Jalan Perintis Kemerdekaan No. 5, Bandar Lampung, Selasa (29-11).

Bagaimana awal Anda terjun ke bidang fashion ini?

Ya, terjun bebaslah. (Aan tertawa). Secara profesional, saya mulai terjun ke bidang ini sekitar 1989. Sebelumnya, saya sempat jadi PNS di RSUAM. Saya jadi perawat di bagian VIP di sana.

Apa alasan Anda beralih profesi?

Mungkin karena kebetulan atau bagaimana. Tetapi, setelah saya pikir-pikir, memang saya punya bakat, kali ya...sehingga akhirnya saya beralih menekuni bidang fashion. Selain itu, saya ingin bebas saja berekspresi. Jadi desainer itu tidak perlu terikat tatanan-tatanan seperti PNS yang taat dengan satu aturan. Gak boleh ini, gak boleh itu. Kalau begitu, kreativitas kita jadi pampet. Jadi desainer itu kan lebih bebas.

Kenapa Anda terlambat menyadari, Anda memiliki talenta besar di bidang ini?

Sejak kecil memang saya belum tahu mau jadi apa. Sebab itu, saya memilih masuk akademi perawat. Tetapi, setelah menjalani profesi itu, saya jadi berpikir kembali untung ruginya. Kayaknya, kalau saya menjalani profesi sesuai dengan bakat yang saya miliki itu lebih menguntungkan. Sebab itu, akhirnya saya memutuskan berhenti sebagai PNS dan mulai membuka usaha menjahit, baru setelah stabil, saya membuka butik.

Dari mana Anda belajar soal fashion?

Saya autodidak. Sebelum menjadi profesional pada 1989, saya sudah mengenal mode lewat mengikuti beberepa fashion show. Sejak 70-an saya memang sudah berkecimpung di dunia mode. Waktu itu saya jadi model sebagai kerja sambilan. Kebetulan memang saya hobi sama hal-hal yang berbau seni.

Kapan pertama kali Anda menjadi model?

Pertama kali jadi model itu tahun 1979. Awalnya jadi model juga gak sengaja. Waktu saya potong rambut di sebuah salon di Jalan Pangkal Pinang, pemilik salon, saya ingat namanya Ibu Masni bilang kalo tampang saya lumayan buat jadi model. Lalu dari ngobrol-ngobrol itu, saya ditawari ikut fashion show dalam rangka tahun baru di Hotel Marcopolo. Saya ingat waktu itu saya latihan hampir sebulan penuh.

Walaupun sedikit malu-malu tampil di depan orang banyak. Saat itu rasa luar biasa sekali bisa show. Waktu itu, jadi model kan sudah elite banget. Setelah itu, tawaran jadi model terus mengalir. Bukan hanya di Lampung, tapi saya juga sering ikut fashion show Batik Danar Hadi dan Batik Tris di di luar kota, seperti Palembang. Selain jadi model, saya juga sering diberi tanggung jawab untuk mengadakan acara-acara kecantikan. Nah, lewat itu saya bisa berkenalan dengan istri-istri pejabat yang belakangan jadi pangsa pasar saya.

Selain memang berkecimpung di dunia mode, dari mana lagi Anda mempelajari mode?

Saya baru mempelajari mode secara formal setelah saya membuka butik. Itu sekitar 1996. Waktu itu saya ikut sekolah mode Esmode di Jakarta. Hanya setengah tahun. Tetapi, sebelum terjun di bidang mode, saya sudah memiliki pengalaman di bidang ini. Tahun 1982--1984, saya membuka usaha jahitan.

Alhamdulillah, walaupun masih kecil-kecilan banyak juga teman-teman seprofesi yang minta dibuatkan baju. Saya juga sering diminta mendesain baju ibu-ibu pejabat.

Sebagai seorang desainer, bagaimana Anda merintis usaha ini?

Ya, gimana ya. Tetapi, waktu saya memulai itu pasarnya sudah ada. Tetapi, sebagai desainer baru, saya harus memiliki ciri khas. Waktu itu saya punya ide mengangkat tapis sebagai ciri khas saya. Saya juga melihat peluang, kebudayaan Lampung belum digarap desainer-desainer Indonesia, kayak Iwan Tirta yang mengolah batik dan Ramli yang mengolah bordir sampai ke mancanegara. Kalau saya lihat di Lampung ada satu keunikan, yaitu tapis yang tidak ada duanya di provinsi lain. Ya, kemudian saya mulailah dari tapis.

Kapan Anda mulai go national?

Tahun 1989 saya langsung show di Jakarta dan dapat tanggapan bagus. Dari situ, saya mulai belajar profesional. Terus terang, dari sisi persiapan waktu itu, saya belum punya konsep. Bajunya juga kayak supermarket. Pokoknya ada ini, ada ini. Yang penting baju itu ada tapis-tapisnya. Jadi istilah desainer itu supermarket. Tetapi gak nyangka, setelah show itu banyak yang cari Aan. Yang mana...yang mana Aan.

Besoknya, dari Sarinah Thamrin meminta saya menghadap. Lalu saya datangi. Saya bawa konsep baju saya, lalu mereka pesan 300 potong. Saya gak mikir uangnya ada apa enggak waktu itu, yang penting saya iya saja.

Bagaimana Anda mempersiapkan pesanan besar itu?

Saya minta waktu tiga bulan. Begitu tiga bulan, baju 300 potong itu yang terjadi apa? Ternyata quality control-nya ada lima pintu. Pertama pemeriksaan kancing. Kedua pemeriksaan jahitan sampai yang terakhir gosokan. Kalau mengilat out. Nah, dari 300 potong itu yang diterimea cuma 40 biji. (Aan tertawa). Kita gak tahu sih ada seperti itu. Yang penting waktu itu bisa membuat baju. Lalu untuk memenuhi sisanya saya minta waktu lagi tiga bulan. Saya buat yang baru, sementara yang tidak lolos quality control itu saya jual di sini. Orang-orang yang beli di sini mana mungkin mau seteliti itu.

Setelah itu, apa lagi yang Anda lakukan untuk tetap eksis sebagai desainer?

Saya banyak ikut work shop dan konsultasi dengan yang senior. Setelah itu, rutin saya menggelar fashion show dan saya langsung ikut asosiasi perancang mode. Waktu itu, kan saya gak ngerti fittings model, standar model gak ngerti. Jadi perlu banyak pengalaman.

Selain menggali ilmu secara autodidak, Anda juga banyak berkonsultasi dengan desainer senior. Siapa saja?

Saya ngefans-nya sama Ramli. Saya banyak berkunjung kepada dia. Rata-rata desainer memang terbuka sih. Ramli dan Poppy Darsono yang mengemangati saya. Mereka bilang, "Pokoknya An, begitu orang lihat tekstil Lampung, pokoknya identitas elo. Gua gak mau tahu."

Selain Ramli dan Poppy, siapa lagi yang berperan membuat Anda sukses seperti sekarang?

Anak-anak dan rekan-rekan saya. Dengan menjadi anak yang baik dan nggak neko-neko sebenarnya mereka sudah men-support saya. Artinya mereka nggak ribet, nggak menghabiskan uang saya ke narkoba. Dengan begitu, saya tidak stres dan pikiran saya tidak hanaya terfokus pada mereka.

Setelah tapis, Anda mencoba mengangkat sulam usus, bagaimana proses kreativitas Anda menemukan ide itu?

Nah, waktu saya berubah konsep dari tapis, ke sulam usus tahun 1996, Poppy langsung ngamuk. Kata Poppy, "Kamu ini gimana sih, tapis kan mulai dikenal orang. Kok malah beralih konsep."

Poppy dan Ramli memang ingin tapis dikenal luas dan merajalela seperti Iwan Tirta mengangkat batik. Tetapi, saya terkendala pasar yang waktu memang sudah turun. Dan orang modern nggak mau yang namanya benang emas. Tapis juga nggak bisa disulam di atas tekstil yang lembut. Meskipun saya jelaskan, Poppy dan Ramli tetap tidak setuju. Dan itu berlangsung dua tahun. Tetapi, saya tetap ngotot aja. Baru pada tahun keempat mereka mulai menerima.

Kesulitan yang sebagai desainer?

Saya terkendala dengan SDM-nya. Di Lampung sulit sekali mencari asisten yang benar-benar bisa membantu. Lain dengan desainer di Jakarta. Mereka tinggal duduk di kursi bagus, lalu pagi-pagi asistennya sudah memberikan beberapa rancangan dan dia tinggal periksa saja. Kalo di sini, saya buat desain, saya bikin pola, saya juga terima tamu.

Atau memang Anda yang tidak percaya dengan hasil kerja orang lain?

Tidak lah. Badan saya sebenarnya sudah capek dan ini yang membuat saya stres. SDM di sini berbeda lo dengan di Jakarta. Di sana, asisten desainer itu pulang kerja pukul 12 malam. Memang mereka harus gila kerja. Beda dengan disini. Pukul 17 sudah pulang kayak PNS.

Selain sulam usus, apalagi yang Anda ingin kembangkan?

Ada. Namanya sulaman tembung manok yang dalam bahasa Indonesia artinya pantat ayam. Saya sudah populerkan setahun lewat. Aku ketemu sulaman khas Lampung ini di Menggala juga. Waktu pas Lebaran ke rumah familiku, aku lihat kok ada sulaman seperti ini. Lalu mereka jelaskan bahwa itu sulaman tembung manok. Nah, sulaman ini kita padukan dengan sulam usus sebagai bagian ornamennya. Di sebagian kalangan seperti ibu pejabat, sulaman ini sudah mulai dikenal. Memang baru sedikit yang kenal karena dari sisi harga memang lebih mahal dari sulaman usus karena pengerjaan lebih rumit. Di Jakarta harganya bisa mencapai Rp9 juta. Pengerjaannya juga lama bisa sampai dua bulan.

Pada 13--14 Desember mendatang, Anda akan menggelar show tahunan bersama 60 desainer Indonesia lain di Jakarta. Apa persiapan Anda?

Rencananya ada 12 baju yang bakal diperagakan di sana. Semuanya konsep gaun malam yang elegan. Ada yang 3 pieces, 2 pieces, dan dress®MDBU¯. Semuanya sulam usus. Kini baru selesai 30 persen. Ya habis gimana, konsep yang saya mau berubah-ubah terus. Ada ide bagus lagi ganti. Jadi biasanya mendekati hari H baru kelop.

Selain kerja keras, tentu Anda punya kiat untuk bisa sesukses sekarang. Boleh tahu apa saja kiatnya?

Jika ingin maju, kita harus memiliki manajemen yang gaul. Itu yang saya terapkan. Sejak muda, saya sudah membuka diri dengan siapa saja. Saya juga banyak bergaul dengan kalangan atas, seperti anak-anak pejabat. Mungkin cara berpikir saya beda dengan orang-orang dari kampung saya dulu yang cuma mikirin gimana ngakalin duit orang tuanya buat pacaran. Saya gak mau seperti itu.

Merasa orang dari desa, saya ingin banyak tahu, seperti apa mereka yang lebih mampu dari saya, bagaimana mereka bergaul, bagaimana mereka menata hidupnya. Untuk bisa tahu mereka, gampang saja. Saya kan perawat di ruang paviliun RSUAM yang pasiennya orang-orang kaya. Jadi saya dekati mereka saja dan saya servis habis. Tetapi, tujuan saya pure waktu itu ingin bergaul. Nah, lewat mereka saya banyak menimba ilmu. n M-1

Read More......

Tak Harus Menjadi Perancang Ternama

Tak Harus Menjadi Perancang Ternama


Semua orang ingin jadi perancang ternama karena bisa terkenal dan menggelar peragaan busana sendiri," kata Ferdi Hendarman, Head Designer PT Bina Busana Internusa, Kawasan Industri Pulo Gadung, Jakarta Timur.

Hal senada diungkapkan Chrisye (40), lulusan sekolah mode Susan Budiardjo (1995), yang kini bekerja di perusahaan garmen PT Bina Busana Internusa. Sedikit sekali lulusan sekolah mode yang bercita-cita masuk ke industri garmen. "Padahal, sekolah lebih mengarahkan kami membuka bisnis jahit di rumah untuk membuka lapangan kerja," kata Chrisye yang pernah bekerja di sebuah perusahaan garmen di Bali.

Dunia mode tidak sebatas peragaan busana yang gemerlap dan eksklusif. Juga bukan terletak pada busana yang tampak mewah yang dipertontonkan peragawati di atas catwalk. Industri garmen mulai dari proses merancang pola, memotong, menjahit hingga penjualan. Proses panjang ini juga harus dipahami setiap pelaku industri mode.

"Saya resminya perancang mode, tetapi pekerjaannya enggak cuma menggambar. Enggak sesempit itu. Saya mengurus sampai pemasaran," kata Ferdi, lulusan sekolah mode Esmod Jakarta (1997) dan Teknik Industri ITB (1987).

Dari sisi ketenaran, kata Ferdi, perancang mode yang memiliki label sendiri jelas lebih unggul, tetapi pasarnya terbatas di kalangan tertentu saja karena harga busananya yang relatif mahal. "Kalau semua mau jadi perancang mode begitu siapa yang akan membuat baju yang dijual di Matahari. Industri garmen itu bisnis besar. Saya dulu pernah dibilang perancang mode garmen itu tidak bergengsi. Biar saja," lanjut Ferdi yang juga membuka butik di Bandung.

Bekerja sebagai perancang dituntut memiliki disiplin tinggi. "Mereka harus membuat desain mode untuk satu musim. Kalau begitu-begitu saja modelnya, pasti ditinggal konsumen. Harus cepat juga kerjanya. Kalau tidak pasti ditinggal pembeli," kata Netti, lulusan Susan Budiardjo (1994), yang kini lebih memilih membuka butik sendiri karena tidak kuat bekerja di industri garmen.

Selain di industri garmen, banyak lulusan sekolah mode yang memilih membuka butik. Seperti Tini dan Maryati. Sejak selesai pendidikan dasar menjahit di Bunka School, Tini langsung membuka butik dengan menyewa paviliun di belakang Plaza Gadjah Mada.

Sejak awal, Tini tidak ingin bekerja di bawah seorang perancang mode. Kini perempuan asal Solo itu tinggal membuat desain saja karena sudah mempekerjakan satu orang pembuat pola, lima penjahit, dan tiga pemasang manik dan payet.

"Bekerja pada perancang, kami yang kerja dia yang dapat nama. Saya pernah satu tahun kerja ikut orang untuk dapat pengalaman cara menjalankan bisnis," kata Tini yang kerap membuat gaun malam dan gaun pengantin itu.

Sementara Maryati datang jauh-jauh dari Jambi untuk mengambil kursus dasar dan desain di Bunka School selama dua tahun. Kini dia membuat baju-baju kasual untuk dijual di ITC Mangga Dua, Jakarta Barat. "Untung saya sekolah. Kalau tidak kan saya tidak tahu cara buat baju dan menjual baju," ujarnya.

Pada dasarnya sekolah-sekolah mode tidak mengarahkan lulusannya harus menjadi desainer atau memiliki label sendiri, meskipun ini adalah tujuan utama kebanyakan siswa yang memilih bersekolah mode. Padahal, masih banyak bagian lain yang juga berperan penting dalam industri mode.

Seperti Miranda Waliry yang menjadi Branch Manager Stuart Weitzman dan Rococo. "Desainer dan industri fashion harus ada juga yang mengelola," kata Miranda yang lulusan LaSalle mengenai jurusan fashion business yang dimasukinya.

Selama bersekolah para murid di La Salle dari berbagai jurusan selalu dilibatkan bersama-sama mengurus pergelaran busana. Bagian desain grafis membuat buku acara, dan berbagai publikasi. Bagian fashion business seperti dirinya terlibat dalam perencanaan keuangan, mencari model, hingga mencari aksesori.

"Semua itu jadi bekal saat bekerja. Dunia fashion (seperti butik) selalu punya produk baru yang perlu dipromosikan lewat acara seperti show. Saya jadi sudah terbiasa, termasuk untuk urusan negosiasi," kata Miranda. (LUK/EDN/LKS)

Read More......

Sunday, November 12, 2006

Kesalahan Umum Saat Membeli Asuransi

Kesalahan Umum Saat Membeli Asuransi


Perencana keuangan keluarga dari Pavilion Capital, Aidil Akbar Madjid, mencermati ada empat kesalahan umum yang biasa dilakukan sebagian orang dalam membeli asuransi.

Kesalahan pertama, membeli perlindungan asuransi untuk anak yang masih kecil. Jika sebuah keluarga kehilangan anak yang masih kecil, akan menyebabkan kehilangan secara emosional, bukan finansial.

Anda harus ingat bahwa anak yang masih kecil belum bekerja dan mendatangkan penghasilan atau belum memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, membeli polis asuransi jiwa untuk anak kecil tidak bijaksana.

Sebaliknya, orangtua yang memiliki anak seharusnya membeli polis asuransi. Ini merupakan langkah proteksi agar jika terjadi sesuatu yang buruk pada orangtua, si anak yang ditinggalkan tak telantar.

Kesalahan kedua, mencantumkan anak di bawah umur sebagai ahli waris. Anak di bawah umur tidak dapat menerima warisan, walinyalah yang dapat menerima warisan tersebut. Warisan itu pun baru bisa diberikan kepada anak kelak jika si anak berusia 21 tahun atau telah menikah.

Cantumkanlah wali dari anak Anda yang akan membantu merawat anak Anda selain pasangan apabila Anda meninggal dunia. Jika Anda tidak yakin juga akan wali tersebut, buatlah surat wasiat di hadapan notaris.

Ibu rumah tangga

Kesalahan ketiga, tidak membeli asuransi untuk orang yang tidak bekerja. Sebagian orang berpendapat, seseorang yang tidak bekerja tak perlu membeli asuransi karena tidak memiliki penghasilan atau tak memiliki nilai ekonomis.

Akan tetapi, seorang ibu rumah tangga perlu juga memiliki perlindungan. Ibu rumah tangga memiliki banyak tugas, seperti memasak, mengantar anak ke sekolah, dan membereskan rumah. Bandingkan jika tidak ada ibu rumah tangga dan keluarga Anda harus membayar pengasuh anak, sopir, pembantu, dan tukang kebun, berapa biaya yang harus dikeluarkan? Biaya inilah yang menjadi dasar perhitungan perlindungan yang harus dimiliki ibu rumah tangga.

Kesalahan keempat, pembelian asuransi jiwa oleh orang yang tidak memiliki tanggungan. Jika Anda berstatus lajang, sudah bekerja, tidak memiliki tanggungan seperti keponakan, orangtua, atau orang lain yang bergantung secara finansial kepada Anda, berarti Anda tidak memerlukan asuransi jiwa.

Apalagi, jika Anda memiliki tabungan atau investasi, justru tidak perlu asuransi jiwa sama sekali. Jika Anda meninggal, yang diperlukan adalah biaya pemakaman dan uang untuk membayar utang-utang.

Sebaliknya, untuk orang dengan kriteria tersebut, yang diperlukan adalah asuransi cacat dan penyakit kritis. Jika suatu saat Anda sakit atau cacat permanen dan tidak dapat bekerja lagi untuk memenuhi kebutuhan, Anda dapat manfaat dari asuransi cacat dan penyakit kritis itu.

"Sebuah survei menyebutkan, kemungkinan seseorang cacat tujuh kali lebih besar dibandingkan dengan meninggal," katanya. (JOE)

Read More......