Monday, December 03, 2007

Rusia Pilih "Harga Diri"

politik kremlin
Rusia Pilih "Harga Diri"

Barat dan para aktivis hak asasi manusia serta oposisi Rusia sedang jengkel dengan perkembangan demokrasi Rusia. Mantan juara dunia catur Garry Kasparov, misalnya, menuduh Presiden Rusia Vladimir Putin sebagai tiran dan Rusia sebagai negara polisi.

Pembunuhan wartawati kawakan Anna Politkovskaya, eks KGB Alexander Litvinenko, dan penangkapan aktivis lainnya serta pembungkaman media adalah hal menyedihkan. Ini adalah simbol pemberangusan demokrasi yang justru ingin dicapai Rusia. Demokrasi berpotensi melahirkan negara yang menghormati hak-hak warga dan menjunjung tanggung jawab sebagai komunitas internasional.

Namun, harus dimengerti, keadaanlah yang membuat Rusia untuk sementara memilih caranya sendiri. Tampak jelas, negara ini lebih memilih harga diri dan kemakmuran rakyat dengan mengorbankan demokrasi. "Memilih oposisi berarti rela dipermalukan," kata Presiden Putin.

Di era almarhum mantan Presiden Boris Yeltsin, muncul eforia soal demokrasi, kehidupan baru, dan optimisme. Ia dipuja Barat bahkan disambut warga Rusia karena menjanjikan kehidupan baru. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, kekecewaan bermunculan.

Menjelang krisis ekonomi 1998, terjadi pelarian modal sekitar 3 miliar dollar AS per hari dari Rusia. Sekitar 80 persen perusahaan negara diswastakan atas saran IMF dan konsensus Washington yang menyatakan, perekonomian pasar akan membawa kemakmuran. Mungkin saja!

Namun, fakta menunjukkan, ekonomi Rusia mengalami kontraksi sebesar 40 persen pada periode 1991-1998. Di sisi lain majalah Forbes menampilkan warga Rusia baru yang mendominasi daftar warga kaya dunia.

Negara kehilangan kontrol atas kekayaan alam. Bahkan, sebagian kekayaan itu sudah terdaftar sebagai milik asing di Houston, Texas, AS. Para eks KGB (kini FSB), kepolisian Rusia, sempat berpindah tugas menjadi satpam para oligarki, warga kaya mendadak di Rusia hasil reformasi ekonomi. Bahkan, ada anggota oligarki berniat menjadi presiden Rusia setelah 2008.

Siloviki (orang kuat), yang terdiri dari eks KGB di Kremlin, sadar bahwa negara sedang dalam bahaya. Siloviki, di dalamnya termasuk Putin, merancang pengembalian negara ke jalurnya.

Siloviki berhasil melakukannya. Praktis sejak 1999, siloviki, yang sebagian personelnya adalah kubu St Petersburg, asal Putin, menguasai politik, pemerintahan daerah, dan parlemen.

Bank Dunia memuji

Namun, sepanjang periode 1999-2007, ada prestasi luar biasa yang dilakukan Putin. Bank Dunia pun memuji kinerja ekonomi sejak 2001 yang terus membaik. Jumlah penduduk miskin berkurang, rata-rata gaji warga naik. "Bagi warga Rusia, pertumbuhan adalah sebuah kebangkitan dari resesi dekade 1990-an," kata Rory MacFarquhar dari Goldman Sachs di harian International Herald Tribune edisi 23 November 2007.

Berdasarkan hasil jajak pendapat Levada Center pada 2006, sekitar 70 persen di Rusia mengatakan, era Yeltsin membuahkan kesusahan ketimbang kebaikan dan memberi jalan menuju kekayaan bagi segelintir orang.

Apakah rezim Putin tidak korup? Ada banyak tuduhan yang juga menyebutkan rezim ini tak kalah korup. Pada edisi 29 November 2007, harian Novaya Gazeta menelanjangi habis-habisan proses pemilu yang berlangsung Minggu (2/12) demi kemenangan mutlak Partai Rusia Bersatu.

Pertanyaannya, siapa yang mendikte arah Rusia, rakyat mayoritas atau oposisi yang sedang gundah, Barat atau domestik? Bukankah Rusia telah dipermalukan dengan kehancuran ekonomi dekade 1990-an, didesak Uni Eropa dan AS dengan kebijakan yang mengepung dan menggerogoti satelit Rusia?

Demokrasi juga tetap menjadi tujuan Rusia. Cara dan prosesnya barangkali sedang tergelincir. Namun, Putin dengan siloviki hanya mau memilih harga diri. Jika rakyat mau, mengapa tidak? (MON)

Read More......