Sunday, August 12, 2007

Pengaruh Iklan

Pengaruh Iklan

Gencarnya iklan makanan di media massa ikut memengaruhi kebiasaan jajan pada anak-anak dan orangtua. Menurut psikolog Mayke Tedjasaputra, salah satu alasan anak mencoba makanan adalah tertarik dengan iklan, terutama iklan televisi.

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia juga pernah mengadakan survei untuk mengetahui dampak iklan televisi produk makanan terhadap anak. Survei dilakukan bekerja sama dengan lembaga nonpemerintah, Consumer International.

Hasil survei menunjukkan, 32 persen anak minta dibelikan produk makanan karena menyukai produk yang diiklankan. Sebanyak 21 persen anak mengonsumsi makanan tertentu karena menyukai iklannya. Sisanya lagi ada bermacam alasan mengapa anak minta dibelikan makanan, mulai dari tertarik model iklan, pengaruh teman, tergiur hadiah, hingga yang lainnya.

Di Indonesia, iklan produk makanan banyak ditayangkan pada program anak-anak, seperti film, musik, dan kartun. Padahal, ketiga program ini menjadi tontonan favorit anak-anak. Di negara kita juga belum ada peraturan yang melarang atau setidaknya memberikan panduan untuk iklan yang ditayangkan pada program anak-anak.

Berbeda dengan Swedia dan Norwegia. Kedua negara itu tidak mengizinkan iklan televisi apa pun yang langsung ditujukan kepada anak di bawah 12 tahun. Program anak-anak di televisi juga harus bebas dari iklan. (IND)

Batasi Jajan

Melarang anak untuk tidak jajan sulit dilakukan. Apalagi jika anak sudah berumur sembilan tahun karena mereka biasanya malu jika membawa bekal dari rumah.

Meski tidak bisa dilarang, kebiasaan jajan pada anak-anak bisa dibatasi. Berikut tips cara membatasi jajan:

* Terapkan kebiasaan makan sehat dan beragam di rumah.

* Batasi uang saku anak. Soal besaran uang saku sebaiknya dikomunikasikan dengan anak.

* Pilihan makanan yang akan dibeli sebaiknya dibatasi. Pilihlah makanan yang bersih, aman, dan sehat. Anak juga perlu diajari untuk memilih makanan yang baik.

* Ajarkan anak untuk mengelola uang dengan baik.

* Beri penghargaan kepada anak jika ia berhasil mengurangi kebiasaan jajan. (IND)

Read More......

Waspadai Kebiasaan Jajan pada Anak

Waspadai Kebiasaan Jajan pada Anak

Lusiana Indriasari

Sekarang ini anak-anak sudah sangat terbiasa dengan jajan. Karena dibekali uang oleh orangtuanya, anak terbiasa jajan sembarangan.

Kebiasaan jajan bisa berakibat fatal karena sekarang ini banyak ditemukan kandungan bahan kimia berbahaya pada makanan anak-anak.

Bekal uang jajan biasanya diberikan oleh orangtua yang sibuk bekerja. Mereka tidak sempat menyiapkan makanan buatan sendiri untuk anak-anaknya.

Ada juga orangtua yang gemar membeli makanan siap saji atau makanan dalam kemasan untuk bekal anaknya. Padahal, makanan semacam itu biasanya mengandung banyak gula atau penyedap rasa.

Seorang ibu, sebut saja Melani (31), setiap tiga hari sekali selalu membeli bekal di supermarket untuk anaknya yang masih balita. Ia tidak pernah lupa untuk membeli wafer cokelat, minuman susu dalam kemasan, dan permen cokelat kecil-kecil yang berwarna-warni.

"Ini makanan kesukaan anak saya," tutur Melani yang tinggal di kawasan Tangerang, Banten. Sebagai ibu yang bekerja, Melani memang tidak sempat membuatkan bekal untuk anaknya. Ia harus berangkat pagi-pagi sekali agar tidak terlambat sampai ke kantornya di Jakarta.

Psikolog Mayke Tedjasaputra dari Universitas Indonesia mengungkapkan, budaya ingin serba cepat memengaruhi sikap anak, termasuk kebiasaan mereka untuk jajan. Menurut Mayke, pola jajan pada anak terbentuk melalui pembiasaan.

Orangtua yang sering jajan akan "melahirkan" anak-anak yang suka jajan. Semula anak meniru orangtuanya yang suka jajan. Di sekolah, mereka meniru teman-temannya yang juga suka jajan.

Perilaku ini semakin kuat karena dukungan lingkungan, seperti keberadaan penjual makanan di kantin atau di sekitar sekolah. Penjual makanan keliling yang lewat di depan rumah juga mendorong anak untuk jajan.

Mayke mengatakan, para ibu masa kini banyak yang bekerja di luar rumah. Mereka lalu merasa tidak punya waktu untuk membuat bekal makanan. Faktor harga yang lebih murah juga mendorong orangtua untuk membeli makanan siap saji daripada harus membuat sendiri.

"Ini berbeda dengan zaman dulu ketika para orangtua harus membuat sendiri segala sesuatu yang dibutuhkan untuk hidup sehari-hari, mulai dari pakaian, perlengkapan rumah, hingga makanan," tutur Mayke.

Kebiasaan orangtua mengajak anak-anaknya "makan di luar" setiap akhir pekan, menurut Mayke, juga bisa mendorong perilaku senang jajan. Anak jadi punya anggapan bahwa makan di mal, restoran, atau warung sebagai bentuk rekreasi.

Kurang variasi

Faktor lain yang menyebabkan anak suka jajan adalah kurang bervariasinya makanan di rumah. Anak menjadi bosan dengan makanan yang disiapkan di rumah lalu tergiur dengan jajanan.

Kebiasaan jajan ini lalu diperkuat oleh lingkungan, terutama di permukiman padat penduduk. Ketika salah satu anak tetangga jajan, anak-anak lain tidak mau kalah. Mereka lalu meminta jajan kepada orangtuanya dan menangis kalau tidak diberi. Orangtua merasa tidak tega dan akhirnya memberi jajan kepada anaknya.

Dampak negatif muncul pada anak yang sering jajan. Anak menjadi enggan makan, terutama bila mereka jajan berdekatan dengan waktu makan. Anak juga tidak punya selera terhadap makanan rumah karena mereka terbiasa jajan. Sering kita melihat orangtua terpaksa menyuap anaknya sambil memberikan camilan agar anaknya mau makan.

Mayke mengungkapkan, orangtua punya tanggung jawab membentuk kebiasaan positif kepada anak meskipun mereka sibuk bekerja. Mayke menyarankan agar orangtua tetap menyempatkan diri membuat bekal makanan sendiri.

"Orangtua bisa bangun lebih pagi untuk menyiapkan bekal. Atau segala sesuatunya sudah disiapkan malam harinya sehingga pagi tinggal menyelesaikan pekerjaan akhir saja," lanjutnya.

Menurut Mayke, menyiapkan bekal tidak harus dilakukan oleh ibu, tetapi juga bisa dilakukan oleh ayah. Usaha orangtua menyiapkan bekal anak juga berpengaruh positif terhadap jiwa anak. Anak merasa diperhatikan karena orangtua mau bersusah payah membuatkan makanan untuknya.

Read More......

Belajar Sambil Mencari Rumus Praktis

Belajar Sambil Mencari Rumus Praktis

Lusiana Indriasari dan Pingkan Elita Dundu

Seleksi penerimaan mahasiswa baru atau SPMB akan dibuka satu tahun lagi. Meski begitu, banyak pelajar SMA sudah mulai membekali dirinya dengan bimbingan belajar. Ada yang ikut pendalaman materi atau sekadar mencari rumus praktis.

Meski nilai di sekolahnya selalu delapan dan sembilan, Arrisa Sutiati (17), akrab dipanggil Rissa, masih tidak percaya diri dengan kemampuannya. Agar bisa lolos SPMB tahun depan, Rissa sudah memilih tempat bimbingan belajar di kawasan Jakarta Selatan.

Pelajar kelas XII SMA (kelas 3) Al-Izhar ini ikut bimbingan belajar sedini mungkin untuk mengulang pelajaran kelas satu dan kelas dua. Ia merasa berat harus mengulang pelajaran tanpa bimbingan. Alasannya, ia masih harus belajar untuk pelajaran di kelas XII. "Kalau ikut bimbingan, kita dibantu mengulang pelajaran," tutur Rissa.

Bimbingan belajar membuat Rissa lebih percaya diri mengikuti SPMB. Ia merasa tidak "aman" jika tidak ikut bimbingan belajar. Menurut Rissa, sebagian besar anak di sekolahnya ikut bimbingan belajar.

"Aku takut enggak keterima di universitas negeri karena saingannya berat," kata Rissa. Tahun depan ia ingin masuk kedokteran gigi, akuntansi, dan psikologi di Universitas Indonesia.

Sekar Anggraeni (17), pelajar SMA swasta di Bekasi, punya alasan sama. Selain karena kurang memahami pelajaran di sekolahnya, Sekar ikut bimbingan belajar agar lebih percaya diri ketika menghadapi tes SPMB. Sekar bahkan sudah ikut bimbingan belajar sejak kelas XII SMP.

Sekar ikut bimbingan belajar Nurul Fikri di Bekasi yang tidak jauh dari rumah. "Kalau dulu fokusnya ke pelajaran sekolah, sekarang saya fokus ke SPMB," kata Sekar. Ia masuk bimbingan belajar seminggu dua kali.

Ketika masih di kelas XI, Rissa juga sudah ikut bimbingan belajar. Namun, bimbingan tersebut lebih mengarah ke pendalaman materi pelajaran yang diajarkan guru di sekolah. Rissa bisa datang kapan saja jika ada pelajaran sekolah yang kurang dipahaminya.

Biaya tinggi

Bagi orangtua, bimbingan belajar berarti mengeluarkan uang yang jumlahnya tidak sedikit. Di Jakarta banyak penyelenggara bimbingan belajar yang mematok harga tinggi. Biayanya bisa dibilang "bersaing" dengan uang masuk sekolah favorit.

Tira (49), orangtua Rissa, misalnya, harus membayar Rp 6,5 juta agar anaknya bisa ikut bimbingan belajar selama 12 bulan. Biaya itu untuk program bimbingan belajar biasa. Apabila ada yang ingin mengambil program jaminan, orangtua harus membayar Rp 11 juta.

Program jaminan ini lebih mahal karena memberi "garansi" kepada orangtua bahwa anak-anaknya pasti diterima di universitas negeri. Kalau tidak diterima, menurut Tira, uang akan dikembalikan setelah dipotong biaya Rp 2 juta. Seluruh uang bimbingan itu harus dibayarkan langsung di muka.

Nuryani (36), orangtua Sekar, merogoh kocek Rp 1.780.000 untuk bimbingan belajar anaknya selama 12 bulan. Jumlah ini sudah dipotong 30 persen dari biaya sebelumnya karena Sekar masuk ranking lima besar dari tes yang diadakan tempat bimbingan tersebut.

Karena sudah membayar mahal, orangtua tentu punya harapan anaknya bisa diterima di perguruan tinggi negeri. Namun, kenyataan tidak selalu demikian. Ratna Farida (46) punya pengalaman pahit mencari perguruan tinggi untuk anaknya, Ditya (17), alumnus SMA Negeri 81 Jakarta Timur.

Ditya tidak lolos SPMB bulan Agustus lalu. Padahal, ia sudah ikut bimbingan belajar favorit yang biayanya mahal. Ditya ingin masuk fakultas kedokteran di Universitas Indonesia atau Universitas Sebelas Maret.

"Ditya kecewa sampai berhari- hari," ungkap Ratna. Ia berusaha memberi pengertian kepada anaknya agar mau masuk perguruan tinggi swasta. Menurut Ratna, kuliah di perguruan tinggi swasta tetap bisa menjamin masa depan anaknya. Ditya kini kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia di Jakarta. Tahun depan ia berencana mengulang tes SPMB.

Kepanikan orangtua dan anak menghadapi tes SPMB tampaknya dimanfaatkan dengan baik oleh penyelenggara kegiatan bimbingan belajar. Selain bimbingan di luar sekolah, sebenarnya banyak sekolah SMA yang mengadakan bimbingan belajar sendiri.

Bimbingan belajar di dalam lingkungan sekolah biasanya diadakan oleh alumni sekolah bersangkutan dan biasa disebut bimbingan tes alumni (BTA). Ekadewi (21) atau Dewi, alumnus SMA Negeri 81 Jakarta Timur, mengikuti BTA di sekolahnya beberapa tahun lalu.

Dewi memilih ikut BTA daripada bimbingan belajar di luar sekolah. Alasannya, biayanya lebih murah. Ketika itu, ia hanya dikenai biaya Rp 700.000 yang bisa dibayarkan dua kali. Bimbingan tes alumni ini membimbing siswa untuk menghadapi ujian akhir nasional (UAN) dan SPMB.

Meski tidak ikut bimbingan belajar yang biayanya mencapai jutaan rupiah, Dewi berhasil lolos SPMB dan diterima di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Program Studi China Universitas Indonesia.

Selain BTA, kadang-kadang pihak sekolah juga bekerja sama dengan penyelenggara bimbingan belajar dari luar sekolah. Menurut Tira, cara ini lebih "aman" karena sekolah hanya mengambil program yang digunakan bimbingan belajar tersebut. Adapun penerapannya dilakukan sendiri oleh guru sekolah. "Bagaimana pun guru sekolah lebih kenal dan mengerti anak didiknya," ujar Tira.

Rumus praktis

Ada alasan lain mengapa pelajar SMA lebih memilih bimbingan belajar dibandingkan dengan les di sekolahnya. Mereka masuk bimbingan untuk mencari rumus praktis.

Menurut beberapa anak yang pernah mengikuti bimbingan belajar, rumus praktis sangat berguna untuk kecepatan mengerjakan soal, terutama bagi anak yang mengambil jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), karena sebagian besar soalnya adalah hitungan.

"Dengan rumus praktis ini kita bisa menyelesaikan soal lebih banyak dengan benar," ungkap Wisnu (21) yang berhasil menembus Institut Teknologi Bandung (ITB) berkat rumus praktis yang dipelajarinya. Menurut Wisnu, dengan rumus biasa, ia baru bisa memperoleh hasil akhir setelah menghitung dengan cara berbelit-belit.

Bagi sebagian anak, rumus praktis justru membingungkan. Pasalnya, rumus praktis hanya berlaku untuk kondisi tertentu saja. Kalau bentuk soalnya diubah, sering kali rumus praktis itu sudah tak bisa dipakai. "Ketika kita mau pakai rumus yang biasa, ternyata kita udah lupa rumus aslinya karena terlalu sering pakai rumus praktis," kata Dewi.

Dewi menerapkan sistem belajar "sersan", serius tapi santai, untuk menghadapi SPMB. Ia mengaku merasa tertekan dan tidak bisa menyerap pelajaran jika pulang sekolah masih harus bimbingan belajar sampai malam. Meski "sersan", Dewi tidak mau terlalu mengandalkan rumus praktis.

Read More......

Pupuk Rasa Percaya Diri

Pupuk Rasa Percaya Diri

Mengandalkan bimbingan belajar agar bisa lolos tes seleksi penerimaan mahasiswa baru (SPMB) adalah gejala yang lumrah terjadi setiap tahun. Namun, hal ini mengundang keprihatinan Farida Kurniawati, psikolog dari Universitas Indonesia.

Farida mengatakan, anak memilih ikut bimbingan belajar karena ia merasa tidak percaya diri dengan kemampuannya sendiri.

Rasa tidak percaya diri ini, kata Farida, secara tidak sadar ditularkan orangtuanya sendiri. Karena terpengaruh orang lain, misalnya, orangtua mendesak anaknya agar ikut bimbingan. Padahal, sebenarnya anak itu mampu belajar sendiri.

"Dulu bimbingan belajar hanya diikuti oleh anak-anak yang kurang mampu mengikuti pelajaran dengan baik. Sekarang anak-anak pintar juga masuk bimbingan belajar," cetus Farida.

Guru juga punya andil menularkan rasa tidak percaya diri pada anak. Di sekolah, guru malah memanggil alumni, dalam hal ini kakak kelas yang sudah lulus dan diterima di perguruan tinggi negeri, untuk mengajar adik-adik kelasnya.

"Di mata anak, guru seperti tidak percaya diri karena mereka melimpahkan tanggung jawab ke alumni. Tanpa disadari, guru juga menganggap anak-anak alumni lebih pintar daripada mereka sendiri," kata Farida.

Orangtua dan guru punya tanggung jawab untuk memupuk rasa percaya diri pada anak. Dengan begitu, anak tidak merasa tertekan jika tidak ikut bimbingan belajar.

Proses

Agar bisa diterima di universitas yang diinginkan, kata Farida, orangtua sebaiknya menerapkan sistem belajar kontinu sejak anak masih kelas X SMA (kelas I).

Untuk itu, orangtua dan anak sudah harus menetapkan jurusan apa yang akan diambil kelak. Berangkat dari ketetapan itu, anak "digenjot" pelan-pelan untuk mendalami mata pelajaran yang akan mendukung pilihannya nanti. Begitu menginjak kelas XII, anak mulai dilatih secara intensif untuk mengerjakan soal-soal.

Yang tidak kalah penting, menurut Farida, adalah memperkenalkan beragam jurusan dan profesi kepada anak. Jadi, sejak awal anak sudah tahu jurusan apa yang akan ia tekuni.

Dengan cara ini, anak bisa fokus belajar tanpa harus berpindah-pindah jurusan karena merasa kurang cocok dengan jurusan yang diambilnya. (IND)

Read More......

Membeli Barang Berdasarkan Fungsi

Membeli Barang Berdasarkan Fungsi

Jika Anda kebetulan memiliki waktu luang untuk merenung, coba ajukan pertanyaan kepada diri Anda tentang bagaimana Anda memperlakukan harta dalam nilai-nilai hidup Anda? Apakah Anda menganggap harta segala-galanya? Atau lebih dalam lagi, apakah Anda mengukur harta Anda berdasar fungsinya atau ada nilai-nilai lain, misalnya, prestise, gengsi, dan hobi?

Pertanyaan semacam ini menjadi relevan ketika Anda memiliki tujuan keuangan. Konkretnya, mesti jelas apa sebenarnya yang melatari keinginan Anda memiliki tujuan keuangan tersebut. Sebagai contoh, Anda berkeinginan memiliki mobil. Ini menjadi tujuan keuangan Anda. Untuk mencapai tujuan tersebut, Anda bisa menabung dalam kurun waktu tertentu atau mencari pinjaman dari bank atau lembaga keuangan.

Kembali pada pertanyaan di atas, apa yang melatari keinginan Anda memiliki mobil? Anda membutuhkannya sebagai alat transportasi sehari-hari? Atau sekadar gengsi?

Tentu saja Anda bisa mempunyai segala macam alasan yang melatari. Namun, jangan lupa, alasan tersebut hanya relevan kalau kondisi keuangan Anda tidak bermasalah. Dengan kata lain, Anda memiliki kapabilitas untuk mencapainya.

Yang jadi problem adalah jika keinginan tersebut muncul ketika Anda belum berada pada tingkatan financial freedom. Sebab, sejatinya, jika Anda sudah dalam kondisi financial freedom, boleh dibilang Anda sudah tidak punya tujuan keuangan. Semuanya sudah dicapai.

Jadi, keinginan untuk mencapai tujuan keuangan sesungguhnya adalah karena kita masih memiliki ketergantungan terhadap uang. Dengan kata lain, gengsi hanya boleh dikedepankan ketika semua barang-barang yang Anda inginkan sudah menjadi priceless alias tidak bernilai uang sama sekali. Tetapi, ketika Anda masih berkutat mencari uang, keinginan memiliki suatu barang semestinya didasari oleh fungsi.

Lalu, kalau dikaitkan dengan keinginan memiliki mobil, bagaimana relevansinya?

Belilah mobil sesuai dengan kemampuan keuangan Anda saat ini. Itu prinsipnya. Kalau Anda setuju dengan prinsip ini, pertanyaan berikutnya adalah mobil seperti apa yang mesti dibeli? Pertanyaan ini akan terjawab secara otomatis ketika Anda bertanya dulu kepada diri Anda, apakah mobil yang hendak Anda beli itu dimaksudkan untuk dipakai selamanya, atau paling tidak dalam kurun waktu yang panjang, atau malah hanya bersifat sementara. Artinya, ketika kondisi keuangan membaik, Anda akan mencari mobil yang lebih baik lagi.

Secara umum, orang-orang akan memiliki mobil untuk jangka waktu tertentu. Apalagi, jika mobil tersebut pada dasarnya dibeli lebih karena fungsinya yang paling mendasar, yakni sebagai alat transportasi. Tentu saja, kalau bisa alat transportasi itu mesti aman dan nyaman. Namun, pada tahap pertama, yang terutama adalah memiliki dulu alat transportasi. Setelah kemampuan keuangan menjadi lebih baik, baru masuk pada tahap berikutnya, yakni memberikan kenyamanan.

Dengan merujuk pada paradigma tersebut, maka mobil yang hendak Anda beli suatu saat akan dijual kembali. Dengan demikian, Anda juga mesti mempertimbangkan nilai jual kendaraan. Misalnya, Anda membeli sebuah mobil dengan harga Rp 200 juta. Masa produktif mobil tersebut umpamakan 10 tahun, berarti jika didepresiasi selama 10 tahun, setiap tahun nilai mobil akan berkurang Rp 20 juta. Dus, kalau mobil tersebut Anda maksudkan dipakai selama 3 tahun, maka pada tahun ke empat nilai mobil tinggal Rp 140 juta.

Dalam realiltasnya, harga mobil di pasaran bisa lebih mahal atau lebih rendah ketimbang nilai riil dari mobil tersebut. Oleh karena itu, jika Anda membeli mobil, apakah itu mobil baru ataupun bekas, dan dimaksudkan untuk dijual kembali, maka carilah mobil yang harga pasarnya tatkala dijual bisa lebih tinggi ketimbang nilai riil dari mobil dimaksud. Ini bisa terjadi karena harga pasar sering kali dibentuk berdasarkan persepsi, bukan semata-mata berdasarkan depresiasinya. Dan dalam konteks persepsi ini, termasuk juga merek dari kendaraan tersebut.

Yang kerap menjadi problem adalah banyak kalangan menginginkan semua fungsi ada dalam satu kendaraan. Boleh jadi memang ada kendaraan yang seperti itu, tetapi harganya mungkin tidak terjangkau. Atau, kalau bernasib baik, bisa saja menemukan kendaraan yang memberikan fungsi transportasi, keamanan, dan kenyamanan. Namun, ironisnya, ketika dijual kembali, harga mobil tersebut sudah sangat rendah dan bahkan di bawah nilai ekonomisnya. Kenapa bisa demikian? Karena barang memiliki merek. Dan merek memiliki persepsi. Dan ini tidak memiliki kaitan yang kuat dengan fungsi.

Jadi, kalau Anda tidak ingin terjebak dalam kerugian finansial di masa datang—karena membeli suatu barang hanya berdasarkan persepsi atau gengsi—belilah barang, termasuk kendaraan, yang nilai fungsinya sejalan dengan nilai ekonomisnya. Termasuk dalam hal ini adalah tatkala kendaraan tersebut dijual kembali setelah Anda pergunakan sekian tahun.

Dan seperti dipaparkan di atas, barang yang dibeli berdasarkan prestise atau gengsi hanya layak dibeli jika Anda maksudkan untuk dipakai sepanjang masa. Sementara jika barang yang Anda beli direncanakan untuk dijual lagi, atau hanya dipakai dalam jangka waktu tertentu, belilah barang berdasarkan fungsi.

Untuk membuktikan tesis ini, silakan cek sekitar Anda, bagaimana mobil-mobil yang tergolong mewah yang menawarkan keamanan, kenyamanan, dan gengsi setelah sekian tahun menjadi sangat jatuh harganya ketika dijual kembali. Sementara yang berkategori tidak mewah umumnya memiliki harga jual kembali yang tidak terlalu jelek. Kenapa? Karena permintaan terhadap fungsi lebih banyak ketimbang permintaan terhadap gengsi..

Read More......